Tampilkan postingan dengan label Sejarah Buton. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Buton. Tampilkan semua postingan

LUBANG GHAIB TEMBUS KA'BAH BAITULLAH ADA DI PULAU BUTON


Dalam Buku Tambaga/Perak berjudul "Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat" Oleh Laode Muhammad Ahmadi, mengatakan bahwa dua puluh tahun sebelum wafatnya Nabi Muhammad SAW kira-kira tahun 624 Masehi, ketika beliau berada di Madinah dan berkumpul dengan para sahabat dan terdengarlah dua kali demtuman bunyi begitu keras, ketika itu pula Rasulullah Muhammad SAW  mengutus Abdul Gafur dan Abdul Syukur yang keduanya merupakan kerabat dekat Nabi Besar Muhammad SAW  untuk mencari pulau Buton (Al-Bathniy), diapun melanglang buana mencarinya hingga menelan lamanya waktu pencarian hingga 60 tahun yakni sampai tahun 684 Masehi di kawasan Asia Tenggara. Nanti kemudian setelah melewati selat pulau Buton sesudah waktu shalat Magrib barulah dia mendengar suara azan persis sama dengan suara azan yang dikumandankan di Masjidil Haram Mekkah sewaktu tiba shalat zhuhur, maka diapun turun dari kapalnya lalu mencari sumber suara azan tersebut.  Ternyata suara azan tersebut adalah dikumandankan oleh Husein yang tak lain ialah kerabat dekatnya sendiri yang dilihatnya muncul dari sebuah lubang ghaib berbentuk kelamin perempuan terdapat di atas bukit. Lubang ghaib ini tembus ke Ka'bah Baitullah Mekkah. Didepan lubang ghaib inilah Abdul Gafur meneteskan air matanya merenungkan kebesaran Allah SWT, seraya mengingat kembali pesan Rasulullah Muhammad SAW sebelum tinggalkan Madina, bahwa isyarat tanda inilah telah menunjukkan disitulah terdapat pulau Al-Bathniy yang dicarinya. Didepan lubang ghaib inilah Abdul Gafur bisa melihat secara kasaf mata semua yang terjadi di Masjidil Haram Mekkah, termasuk juga orang yang sedang melakukan azan ketika itu dan diapun mengenal orang tersebut yang tak lain adalah sanak keluarganya sendiri bernama Zubair. Pada Zaman Kerajaan Wa Kaa Kaa atau nama aslinya Mussarafatul Izzati Al fakhriy yang terjadi pada Abad XIII yang pusat Kerajaannya di bukit dekat lubang ghaib tersebut. Pusat lubang ghaib itu berada di wilayah pusat Kerajaan Wa Ka kaa (sekarang Keraton Buton)  disucikan dan dipeliharan dengan baik yang kemudian dijadiakan tempat sakral untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk ghaib atas kehendak Allah SWT. Ketika berselang masuknya ajaran Islam di pulau Buton pada Abad XV yang dibawah oleh Sjech Abdul Wahid, maka pemerintahan sistem Kerajaan sudah berubah menjadi pemerintahan sistem Kesultanan dengan sultan pertama Buton bernama Murhum. Maka ketika itu dibangunlah mesjid Keraton Buton yang mana pusat lubang ghaib tersebut diletakkan di tengah-tengah dalam ruang mihrab Imam Mesjid Keraton Buton tempat Imam mesjid memimpin shalat.  sang Imam mesjid Keratonpun pada zamannya ketika memimpin shalat lima waktu bisa secara ghaib melihat kejadian di Masjidil Haram Mekkah seolah-olah dia sedang berada memimpin shalat disana, sehingga menambah makin khusu'nya sang Imam tersebut dalam memimpin shalat berjamaah di Mesjid Keraton Buton   Bukan itu saja, Sultan Buton dan para Sara pemerintahan Sultan Buton apabila ada keperluan dalam kepemerintahannya serta mau melihat keadaan perkembangan bangsa-bangsa di dunia atau apa saja, maka dapat mengunjungi lubang ghaib tersebut yang selanjutnya di lubang ghaib tersebut akan muncul keajaiban atas kehendak Allah SWT guna mengatasi segala permasalahan yang ada.  Sejak akhir tahun 1970-an, lubang ghaib yang terdapat di mihrab Imam Mesjid Keraton itu telah ditutup rapat dengan semen.  Hal ini dilakukan oleh para tokoh adat Keraton mengingat masyarakat umum sudah banyak yang menyalahgunakan lubang ghaib ini yang dikuatirkan bisa menduakan Tuhan YME atau murtad. Selain itu juga sebelum ditutupnya lubang ghaib tersebut terjadi kejadian histeris seorang mahasiswa yang berkunjung ke lubang ghaib ini karena disini dia melihat kedua orang tuanya yang sudah meninggal yang disayanginya. Dalam mihrab Imam mesjid Keraton tersebut dibagian atas dari letak lubang ghaib tersebut terdapat dua gundukan mirip buah dada perempuan gadis. Kedua gundukan tersebut ketika Imam mesjid Keraton Buton melakukan sijud shalat, maka ketika sujud dia memegang kedua gundukan mirip buah dada perempuan itu, sedang lubang ghaib berada dibagian bawa pusarnya atau berada disekitar arah kelamin sang Imam tersebut.  Lain halnya lubang ghaib yang terdapat di pulau Wangi-Wangi di bagian timur pulau Buton, tepatnya di desa Liya Togo letaknya 30 meter dibelakang mesjid Keraton Liya. Pada zamannya lubang ghaib ini juga dipelihara oleh Raja atau Sara Liya mengingat banyaknya keajaiban yang dapat dilihat dilubang ghaib tersebut.

Lubang Ghaib

Lubang ghaib yang tembus ke Ka'bah Mekkah yang terdapat di Liya Togo ini sengaja tidak diletakkan di dalam mesjid Keraton Liya sebagaimana yang terdapat di mihrab mesjid Keraton Buton sebab tidak boleh dilakukan sama. Sultan Buton apabila mengunjungi Keraton Liya setelah melakukan shalat di mesjid Keraton Liya, selanjutnya sang Sultan langsung mengunjungi lubang ghaib tersebut lalu memohon kepada Allah SWT untuk dapat melihat seluruh keadaan dan kejadian pemerintahannya sehingga dia dapat melihat secara ghaib untuk menjadi kewaspadaan Sultan.  Kedua lubang ghaib tersebut saat ini secara spritual sudah tidak terpelihara lagi sehingga kini tinggal kenangan saja. Hanya dengan penegakan kembali sistem peradaban hakiki Islam dan penegakan Sara Agama pada masing-masing wilayah barulah mungkin rahasia lubang ghaib itu bisa berfungsi kembali atas izin Allah SWT.  Diperkirakan lubang ghaib serupa ini juga terdapat satu buah di Serambih Aceh Sumatera Utara pintu masuk pertamanya Islam di Indonesia. Sehingga di Indonesia terdapat 3 buah lubang ghaib yang dibentuk oleh alam atas kehendak sang halik. Berdasarkan petunjuk spritual di dunia ini terdapat 5 buah lubang ghaib tembus ke Ka'bah Baitullah Mekkah, 2 di antaranya terdapat di dataran Cina dan dataran Eropah Barat. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguak kisah ini secara ilmiah oleh para ilmuwan dunia sehingga dapat ditarik manfaatnya untuk perbaikan kualitas hidup dan kehidupan manusia dalam penegakan Iman dan Keyakinan kepada Tuhan YME serta pembenaran perkembangan kemajuan peradaban manusia di muka bumi ini.
 
sumber : bumibuton 

Category: 1 komentar

Perangkat Adat Kesultanan Buton kembali Dikukuhkan


Image
Wakil Gubernur Sultra, Saleh Lasata mengungkapkan prosesi pengukuhan Bonto Siolimbona merupakan syarat kelengkapan dari lembaga adat istiadat Kesultanan Buton dan merupakan bagian yang telah diwariskan oleh para leluhur kita dimasa lampau untuk memelihara dan melestarikan budaya Kesultanan Buton. "Olehnya itu kita harus melakukan revitalisasi terhadap nilai-nilai budaya sebagai ungkapan kearifan dan keluhuran umat manusia dalam menjaga warisan leluhur kita," kata Saleh Lasata.


Dalam acara tersebut Pata Matana Sorumba telah mengukuhkan Bonto Siolimbona antara lain Bontona Baaluwu S Bahraini, Bontona Peropa Rafiuddin SE MSi, Bontona Barangkatopa H Zaeru, Bontona Gundu-Gundu H Rusli Rasyid, Bontona Siompu Hamisu Sadif, Bontona Rakia Rajulan ST, Bontona Melai Ma'ruf Madi, Bontona Wandailolo Dahilu SE MM, Bontona Gama H Liymu Adi.


Di acara tersebut juga turut hadir,  Pj Bupati Bombana Muhammad Hakku Wahab, Dandim 1413 Letkol (Inf) Unang Sudargo SH, Kapolres Baubau AKBP Daniel Aditya SIk, Kapolres Buton AKBP Heri Susanto SIk,  DR H LM Izat Manarfa MSc, selaku ketua perwakilan Sultra Forum Silaturahim Keraton se-Nusantara (FSKN). 

Sumber : kendarinews 

Category: 0 komentar

PUTRI KHAN ASAL TIBET-MONGOL-PERSIA MERUPAKAN RAJA PERTAMA KALI DI PULAU BUTON TEPATNYA DI KAMARU...


Asal mula kerajaan pertama kali di pulau Buton di perkirakan mulai terjadi pada pertengahan abad IX Masehi terdapat di desa Kamaru tepatnya di gunung Ba'ana Meja kecamatan Lasalimu di Pulau Buton. Perkiraan terjadinya kerajaan ini pada abad IX Masehi ini bukan tidak beralasan, sebab berdasarkan analisis sementara struktur pelapukan daripada Slop Kaki Kiri (sendal kaki kiri) milik Putri Khan sebagai Raja pertama yang berkuasa di gunung Ba,ana Meja ini dapat di amati pada struktur lapis slop tersebut terdapat 10 stratifikasi lapukan ; yang berarti usia slop kaki kiri ini dapat ditaksir telah berumur padanan 10 abad lamanya. Slop kaki Kiri Putri Khan sebagai Raja pertama di Kamaru ini gambarnya tidak di input ke dalam blog ini berhubung karena sesuatu hal tertentu masih disimpan khusus di kendari.

Raja pertama ini bernama Putri Khan asal percampuran negeri Tibet-Mongolia-Persia dari keturunan baginda Sayidina Ali bin Abithalib yang ketika itu mendapat perintah spritual untuk mencari pulau Buton. Putri Khan merupakan permaisuri dari kerajaan asalnya yang berdasarkan perintah spritual tersebut membawa pasukan sebanya 299 orang dengan 9 Armada perang berlayar mencari pulau Buton. Pelayaranpun dilakukan berbulan-bulan hingga mendapatkan pulau Buton. Ketika pertama kali pulau Buton ditemukan langsung rombongan armada kapal masuk selat Kamaru dan berlabuh di desa Kamaru di pulau Buton. Putri Khan mencari tempat strategi untuk membuat isntana kerajaannya dan diputuskan istana kerajaannya di buat di atas gunung Ba’ana Meja Kamaru.

Di puncak gunung Ba'ana Meja ini setelah penulis amati ketika berada di atas puncak tahun 2011 lalu ; memiliki tanah yang datar dengan luas kurang lebih 40 m x 40 m atau 1600 m2. Istana kerajaan pertama di pulau Buton ini dibangun di atas puncak gunung dengan ketingggian sekitar lebih kuran 500 meter dari permukaan laut bersebelahan dengan pohon asam yang ukurannya saat ini diperkirakan berdiameter 3 meter dan kondisi saat ini sudah lapuk.
Sepanjang lingkup gunung Ba'ana Meja ini mulai dari kaki sampai puncak gunung lerengnya di timbuni oleh kulit kerang laut dengan ketebalan 1 meter hingga 2 meter.
Putri Khan inilah merupakan asal mula manusia pertama secara komunitas membentuk suatu kerajaan dan berkembang biak secara turun temurun di pulau Buton khususnya di wilayah Lasalimu sampai terjadi kisah hubungan Togo Motonu di Malaoge Lasalimu akibat dari muara sungai ini di hanyutkan seorang bayi mungil yang baru saja lahir dari anak salah seorang Raja keturunan Putri Khan (raja ke-3 ?) yang dengan sengaja mengawini saudara kandungnya sendiri karena cantiknya saudara kandung tersebut padahal hokum Sa’ra melarangnya. 


Konon dikisahkan bahwa setelah anak bayi tersebut di hanyutkan dalam keranjang rotan tiba-tiba kilat dan Guntur menyambar disertai dengan tenggelamnya muara sungai tersebut dan bayi itupun hilang ditelan keajaiban alam. Runtuhnya muara sungai Malaoge ini selanjutnya dinamakan Togo Motonu. Sedangkan bayi yang hilang itu dikisahkan muncul secara misterius di Luwu dan inilah cikal bakan Sawerigading.

Kisah ini merupakan hasil penuturan Putri Khan kepada penulis secara media spritual atau secara ilmiah disebut dialogis metafisis yang saat itu tahun 2001 disaksikan oleh 2 orang parabela penjaga Batu hitam atau batu Ba'ana Meja.

Batu Ba'ana Meja adalah batu berwarna hitam pekat terdapat dua buah masing-masing berukuran diameter 0,50x0,50 m2 dan 1,00 x 1,00 m2 yang konon dikisahkan merupakan meja tempat kerja Sang Putri.

Sudah sering kali terjadi keajaiban di lokasi gunung Ba’ana Meja ini dimana sering kali para pengunjung ke gunung ini membuang batu Ba'ana Meja tersebut ke bawa gunung atau dibawa pulang ke rumahnya, namun kejadian ghaib muncul, sebab keesokan harinya batu itu kembali lagi ketempat semula.

Menurut penuturan Putri Khan kepada penulis mengatakan bahwa Putri Khan mendatangi pulau Buton atas perintah ghaib yang diterimanya dari Rasulullah Muhammad SAW untuk mencari semua lokasi tambang yang terdapat di dataran pulau Buton. Tambang-tambang ini adalah merupakan milik leluhurnya Nabi Adam Alahissalam yang ketika terjadi perpindahan daratan (baca salah satu entri : Asal Mula Terjadinya Pulau Buton) dari dataran Arabia (saat ini laut Kaspia) itu semua muncul menjadi pulau Buton maka bersamaan semua potensi sumber daya alamnya terbawa oleh perpindahan tersebut. Dulunya sebelum Putri Khan masuk ke pulau Buton di atas permukaan tanah pulau Buton gampang diketemukan berbagai mineral tambang, sehingga ketika itu dia diperintahkan untuk menutupnya secara ghaib sehingga tambang-tambang tersebut tidak lagi mudah ditemukannya di atas permukaan tanah pulau Buton oleh siapapun manusia begitu saja kecuali melalui juru kunci atas izin dan kehendak Allah SWT.

Setelah berselang beberapa lama Putri Khan memerintah di Kamaru dan sekitarnya muncullah orang-orang sakti yang berasal dari Melayu seperti Si Panjonga, Si Jawangkati, Si Malui dan Si Tamanajo. Mereka datang mencari pulau buton juga atas perintah ghaib yang diterima oleh mereka ketika itu dan ke-4 orang inilah yang sering-sering disebut oleh para penatua buton sebagai "Mia Patamiana" yang sangat sakti. Kalau tidak percaya bisa di coba misalnya kita sedang mengalami kesulitan apa saja; maka sebutlah nama ke-4 orang itu dengan keyakinan penuh karena Allah, maka akan dengan mudah teratasi masalah yang kita hadapi itu. Diantara salah satu dari ke-4 orang sakti tersebut yakni bernama Si Jawangkati merupakan ayah kandung Patih Gajah Mada dari seorang ibu yang bernama Putri Lailan Mangraini yang tak lain adalah merupakan anak dari Raden Wijaya sebagai Raja Majapahit Pertama (kisahnya akan dihimpun pada entri lain) sebelum dia berkuasa di Luwu sebagai raja Luwu. Para Prajurit Komunitas kerajaan di Kamaru yang dibawah oleh putri Khan ini selanjutnya melebarkan kekuasaannya sampai ke kepulauan Wangi-wangi khususnya membuat Bandar di pulau Oroho, kemudian menyeberang ke Kediri dan Singosari.

Dalam kaitan ini sudah saatnya para arkiologis putra daerah Buton kerja sama dengan para ilmuwan dunia; untuk melakukan penelitian ilmiah dalam menyikapi kisah ini secara menyeluruh. Apa sebetulnya misi utama Putri Khan ke negeri ini?. Benarkah dia (Putri Khan) dan rombongannya para prajurit sebanyak 299 orang itu merupakan manusia pertama yang mendiami pulau Buton?, Ataukah orang yang bernama Abdul gafur dan Abdul Hasan yang merupakan utusan rasulullah Muhammad SAW adalah orang pertama kali (rombongan/pengikutnya) mendiami pulau Buton !?. Apakah misi utama Putri Khan ada hubungannya dengan rahasia yang terkandung dalam pulau Buton?. Apakah masih ada hubungannya dengan Al-Bathniy sebagaimana yang diamanahkan oleh Rasulullah Nabi Besar Muhammad SAW?. Atau apakah ada hubungannya dengan perlindungan Potensi Sumber Daya Alam yang saat ini serba gaib di daerah ini?. Wallahu a'alam bisshabab, sangat tergantung paa pembaca yang budiman mau percaya atau tidak percaya !!.****

Oleh : Ali Habiu 
sumber : bumibuton

Category: 0 komentar

BHOLIMO KARO SOMANAMO LIPU FALSAFAH HIDUP KESULTANAN BUTON


Falsafah hidup Kesultanan Buton ini lahir pada akhir abad ke-16 M, Di masa pemerintahan Sultan La Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615 M).

Sultan Buton ke-4, La Elangi Dayanu Ikhsanuddin, yang telah sukses membuat UUD Kesultanan Buton yaitu Martabat Tujuh beserta peraturan-peraturan pemerintah lainnya yaitu Istiadatul-Azali, Mahafani dan Farait, sekaligus berhasil membawa negerinya ke tingkat kehidupan politik, sosial dan budaya yang lebih maju dan berkembang. Perkembangan selanjutnya adalah timbulnya semangat nasionalisme dan patriotism yang merangsang memenuhi seluruh jiwa raga tiap kesatria negeri dan kalangan rakyat. Dalam situasi dan kondisi demikian, merebaklah semangat cinta tanah air (lipu), agama dan bangsa. Puncak dari semua itu, lahirlah falsafah hidup Kesultanan Buton yang ke-2, terdiri atas 5 (lima) dasar keyakinan dan disusun dengan urut-urutan kepentingan sebagai berikut:

1. Agama (Islam)
2. Sara (pemerintah)
3. Lipu (Negara)
4. Karo (diri pribadi rakyat)
5. Arataa (harta benda)

Falsafah hidup Kesultanan Buton ke-2 ini menempatkan agama (Islam) pada posisi puncak tertinggi. Ini berarti bahwa agama Islam merupakan satu-satunya sumber hukumtertinggi dalam menyusun sila-sila berikutnya yaitu: tata pemerintahan (sara), mengelola negara (lipu), mengatur kehidupan dan kepentingan orang banyak (karo) dan pengurusan harta benda (arataa). Semuanya itu wajib dilaksanakan sesuai kaidah-kaidah agama Islam.
Untuk memahami makna yang terkandung dari urut-urutan kepentingan tersebut adalah dengan memulainya dari kepentingan terendah (arataa) sampai kepentingan tertinggi (agama, Islam), yaitu:

1. Amadaki-amadakimo arataa Solana bholi o karo
2. Amadaki-amadakimo karo Solana bholi o lipu
3. Amadaki-amadakimo lipu solana bholi o sara
4. Amadaki-amadakimo sara solana bholi o agama

Artinya:

1. Biarlah rusak harta benda, asal jangan rusak diri (pribadi/rakyat).
2. Biarlah rusak diri (pribadi/rakyat), asal jangan rusak negara.
3. Biarlah rusak negara, asal jangan rusak pemerintah.
4. Biarlah rusak pemerintah, asal jangan rusak agama.

Falsafah hidup tersebut di atas telah menjadi konsensus pemerintah Kesultanan bersama seluruh rakyat, ditempatkan menjelang penutup Undan-Undang Dasat Kesultanan Buton (Martabat Tujuh). Namun, dalam sejarah perkembangannya, istilah-istilah tersebut telah mengalami perobahan sebagai berikut:

1. Yinda-yindamo arataa somanamo karo
2. Yinda-yindamo karo somanamo lipu
3. Yinda-yindamo lipu somanamo sara
4. Yinda-yindamo sara somanamo agama

Yinda-yindamo. Dalam terjemahan bebasnya adalah “biarlah hilang sama sekali”. Sesungguhnya menegaskan ungkapan positifisme dan sifat ksatria sejati, yaitu: rela membuang atau mengorbankan seluruh kepentingan diri sendiri demi untuk kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi.
Dan dalam perkembangan selanjutnya, istilah yinda-yindamo itu berubah pula dan dipersingkat dengan bholimo, hingga menjadilah:

1. Bholimo arataa somanamo karo
2. Bholimo karo somanamo lipu
3. Bholimo lipu somanamo sara
4. Bholimo sara somanamo agama.


Perlu dikemukakan bahwa perubahan istilah asli yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh, yaitu amadaki-amadakimo kemudian menjadi yinda-yindamo dan terakhir menjadi bholimo dan istilah solana bholi berubah menjadi somanamo, penulis belum mendapatkan data akurat kapan mulainya perubahan itu. Menurut dugaan penulis, kemungkinan itu disebabkan perubahan gerak maju dari pola piker masyarakat yang menghendaki serba singkat dan serba cepat. Atau pengaruh bahasa sehari-hari yang lebih populer dalam masyarakat dan tanpa disadari sudah meghilangkan bahasa aslinya sebagai bahasa baku.


Versi lain mengatakan bahwa yinda-yidamo itu sudah dikumandangkan sejak zaman Sultan Murhum Kaimuddin dalam menghadapi serangan pasukan Sultan Ternate, Baabullah, dan seranagn pasukan VOC (Belanda) di wialyah Kulisusu.
A.M. Zahari dalam bukunya Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni jilid 1 halaman 54, mengartikan bholimo dengan “tiada perlu”. Menurut hemat penulis, arti yang lebih tepat dari bholimo itu adalah “tidak usahlah”, tetapi hakikatnya identik dengan “tiada perlu”. Namun, bila diselami lebih mendalam makna positif yang heroismedan patriotisme dalam ungkapan sila-sila tersebut, penulis berpendapat bahwa istilah bholimo lebih tepat diberi pengertian “korbankanlah”. Yaitu: “korbankanlah kepentingan …….”.
Berdasarkan pengertian itu, penjelasan urut-urutan kepentingan ke-5 sila tersebut, adalah:

1). Bholimo arataa somanamo karo, artinya: Korbankanlah kepentingan harta benda asalkan diri (pribadi/rakyat) selamat.
Dalam keadaan normal, setiap harta benda (arataa) baik yang dimiliki masing –masing anggota masyarakat maupun negara wajib dilindungi dan dijaga keselamatannya. Tetapi, apabila kepentingan yang lebih tinggi yaitu karo (diri pribadi/rakyat) terancam keselamatannya, maka harta benda, baik milik perorangan maupun milik masyarakat atau negara wajib dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih timggi, yaitu diri (pribadi/rakyat). Contoh:
• Pembangunan Benteng Keraton Buton telah mengorbankan banyak harta benda dan yenaga rakyat, demi untuk melindungi kepentingan yang lebih tinggi, yaitu keselamatan rakyat, negara, pemerintah dan agama.

2). Bholimo Karo Somanamo Lipu, artinya: Korbankanlah kepentingan diri (pribadi/rakyat) atau karo, asalkan lipu (negara) slamat.
Dalam keadaan normal, setiap individu-rakyat (karo) wajib dilindungi kepentingan dan keselamatannya. Tetapi bila kepentingan yang lebih tinggi yaitu negara (lipu) terancam keselamatannya, maka kepentingan individu-rakyat (karo) dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih tinggi, yaitu negara (lipu). Contoh:
• Apabila negara dalam keadaan terancam keselamatannya, umpamanya diserang musuh, baik dari dalam maupun luar, maka rakyat (karo) wajib siap berperang mengorbankan jiwa raganya demi menyelamatkan keutuhan dan kehormatan negaranya (lipu).

3). Bholimo lipu somanamo sara, artinya: Korbankanlah kepentingan negara (lipu) asalkan pemerintah (sara) selamat.
Dalam keadaan normal, seluruh wilayah negara (lipu) wajib dipelihara dan dijaga keutuhan dan keselamatannya. Tetapi bila kepentingan pemerintah (sara) terancam keselamatannya, umpamanya karena terjadi peperangan dan ternyata kekuatan musuh terlalu besar, maka bagian-bagian wilayah negara (lipu) boleh ditinggalkan untuk dikuasai musuh. Dalam situasi demikian, yang wajib diselamatkan adalah kepentingan sara (pemerintah) yang berada di dalam Benteng Keraton Buton, karena selama sara (pemerintah) masih ada, berarti negara belum ditaklukkan. Untuk mempertahankan keselamatan pemerintah, semua kekuatan pasukan seluruh medan pertempuran ditarik ke pusat pertahanan terakhir, yaitu dalam Benteng Keraton Buton. Dari sanalah diatur siasat baru seperti melakukan perang gerilya atau meminta bantuan dari negara sahabat untuk merebut kembali eilayah-wilayah yang ditinggalkan tadi.
Sila ketiga filsafah kesultanan Buton ini, nampaknya tetap berlaku di zaman modern ini. Bahkan pernah dipraktekkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Ketika Kota Jakartasebagai ibukota Republik Indonesia tak dapat lagi dipertahankan dan keselamatan pemerintah pusat dalam kondisi sangat rawan, maka Jakarta ditinggalkan dan dibiarkan diduduki dan dikuasai Belanda sepenuhnya. Pemerintah RI berhijrah ke Yogyakarta. Dan pada saat Yogyakarta diduduki lagi oleh Belanda dalam tahun 1947 dan Presiden beserta Wakil Presiden ditawan dan diasingkan ke Bangka, Bung Karno segera mendelegasikan jabatan Presiden Indonesia kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu sementara bereda di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Dengan taktik diplomatic demikian, maka pemerintah de facto RI tetap ada dan Belanda hanya menagkap dan mengasingkan pribadi/fisik Soekarno dan Hatta saja. Sementara itu perang gerilya terus digencarkan, bersamaan dengan kegiatan bidang diplomatic. Wilayah demi wilayah kembali dikuasai tentara pejuang kemerdekaan RI. Dan kemajuan bidang diplomatic mencapai puncaknya dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag negeri Belanda, yang menghasilkan pengakuan Kemerdekaan Negara RI oleh pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.

4). Bholimo Sara Somanamo Agama, artinya: Korbankanlah kepentingan sara atau pemerintah asalkan agama selamat. Atau, biarlah kepentingan sara dikorbankan demi menyelamatkan agama Allah (Islam).
Di sinilah titik puncak tertinggi dari falsafah hidup Kesultanan Buton ke-2 ini. Betapa pentingnya unsure pemerintah disamping unsure-unsur wilayah (lipu) dan rakyat (karo). Walaupun demikian, apabila pemerintah, seseorang atau bersama-sama diiketahui telah melakukan suatu perbuatan yang melanggar hokum, lebih-lebih hokum agama, maka kepada mereka itu wajib dikorbankan/dihukum demi menyelamatkan agama Allah (Islam).
Dalam sejarah pemerintahan Kesultanan Buton , hal ini dapat disaksikan atas diri Sultan Buton ke-8, La Cila Maradan Ali (Gogoli yi Liwoto), karena tingkah lakunya yang bertententangan bahkan akan merusak sendi-sendi agama Islam. Beliau dipecat dari jabatannya sebagai Sultan dan dijatuhi hukuman mati (diGologi) denagn jalan lehernya dililitkan tali kemudian kedua ujung tali itu ditarik ke kiri dank e kanan hingga wafat. Pelaksanaan hukuman mati ini di Liwuto Makasu (Pulau Makassar) yang berhadapan dengan kota Bau-Bau.
Di sinilah kita menyaksikan bagaimana pemerintah kesultanan Buton secara konsisten, melaksanakan hokum yang mereka telah terapkan sendiri tanpa pandang bulu. Seorang Sultan pun bila telah melanggar peraturan yang berlaku wajib dihukum sesuai beratnya pelanggaran yang diperbuatnya. Mereka sangat teguh keyakinan dari pendiriannya bahwa melindungi seseorang dari ancaman hukuman berarti membiarkan berlangsungnya pelecehan hukum. Dan hal itu akan melahirkan keresahan dalam masyarakat (karo) dan merupakan awal kebinasaan negeri (lipu).


Adalah sangat menarik untuk disimak dan diteliti bahwa falsafah hidup Kesultanan Buton ke-2 ini, baik isi maupun urutan susunan sila-silanya identik dengan Pancasila Republik Indonesia. Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Bung Karno, sebagai negarawan telah berhasil melahirkan bayi Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 pernah berucap bahwa beliau bukanlah pencipta Pancasila. Karena sesungguhnya Pancasila itu sudah lama berada di bumi Indonesia dan beliau hanya menggali, menemukan, dan menyusunnya seperti yang kita lihat sekarang ini. Apakah Pancasila yang dimaksud Bung Karno itu adalah falsafah hidup Kesultanan Buton II yang telah dikandung Bumi Buton kemudian dilahi rkan dilahirkan abad ke-16 m, 410 tahun yang lalu? Hal ini tentunya memerlukan penelitian para ilmuan Indonesia.

Bandingkan:
Falsafah Hidup Kesultanan Buton II
(Akhir abad ke-16) Pancasila Republik Indonesia
(Tahun 1945 M)

  1. Agama (Islam) 1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Sara (Pemerintah Yang Adil dan Beradab) 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
  3. Lipu (Negara Yang Utuh dan Bersatu) 3. Persatuan Indonesia
  4. Karo (Diri/Pribadi-Rakyat) 4. Kerakyatan Yag Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
  5. Arataa (Harta benda harus dilindungi dan berguna bagi keprntinagn umum) 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rkyat Indonesia


Sebagai penutup dari uraian singkat ini, perlu perlu dikemukakan bahwa filsafah hidup Kesultanan Buton tersebut sampai sekarang ini oleh masyarakat Wolio-Buton masih tetap dijadikannya sebagai landasan moral dan tingkah laku mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dan di zaman negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, falsafah hidup Kesultanan Buton itu tentu merupakan kekayaan Khazanah Budaya Bangsa yang tak ternilai hargannya.


sumber : rizkitonight

Category: 0 komentar

Tenun Buton


Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara memiliki dua fungsi, yaitu sebagai perekat dan identitas sosial.

Kerajinan tenun dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara biasanya menggambarkan obyek alam yang mereka temukan di sekitarnya. Tenun Buton juga kaya akan warna-warna. Inilah yang menjadi kekhasan kerajinan tenun dari Buton. 

Oleh masyarakat Buton, kerajinan tenun ini dianggap mampu menjadi perekat sosial bagi masyarakat Buton, sebab tenun Buton adalah pengejawantahan orang-orang Buton memahami lingkungan alamnya. 

Hal ini terlihat dari corak dan motif tenunannya, misalnya motif betano walona koncuapa yang terinspirasi dari abu halus yang melayang-layang hasil pembakaran semak saat membuka ladang; motif colo makbahu atau korek basah, motif delima bongko (delima busuk), motif delima sapuua, dan lain sebagainya.

Selain sebagai perekat sosial , tenun Buton juga dianggap mampu menjadi identitas diri , karena bagi orang Buton, pakaian tidak hanya sebagai pelindung tubuh dari terik matahari dan dinginnya angin malam, tetapi juga sebagai identitas diri. 

Dengan melihat pakaian yang dikenakan oleh wanita Buton misalnya, kita bisa mengetahui apakah dia telah menikah atau belum. Selain itu, mereka juga bisa menandakan perempuan tersebut berasal dari golongan awam atau bangsawan.

Category: 0 komentar

Transisi Status Gadis dalam Posuo


Upacara Adat Posuo merupakan salah satu upacara adat Provinsi Sulawesi Tenggara tepatnya di daerah Buton. Yang dimaksud Buton secara umum adalah wilayah Sulawesi tenggara meliputi Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Buton, dan Kabupaten Buton Utara.
 
Tradisi Upacara adat Posuo yang berkembang di Sulawesi Tenggara (Buton) sudah berlangsung sejak zaman Kesultanan Buton. Upacara Posuo diadakan sebagai sarana untuk peralihan status seorang gadis dari remaja (labuabua) menjadi dewasa (kalambe), serta untuk mempersiapkan mentalnya.

Upacara tersebut dilaksanakan selama delapan hari delapan malam dalam ruangan khusus yang oleh mayarakat setempat disebut dengan suo. Selama dikurung di suo, para peserta dijauhkan dari pengaruh dunia luar, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Para peserta hanya boleh berhubungan dengan bhisa (pemimpin Upacara Posuo) yang telah ditunjuk oleh pemangku adat setempat. Para bhisa akan membimbing dan memberi petuah berupa pesan moral, spiritual, dan pengetahun membina keluarga yang baik kepada para peserta.

Dalam perkembangan masyarakat Buton, ada 3 jenis Posuo yang mereka kenal dan sampai saat ini upacara tersebut masih berkembang. Pertama, Posuo Wolio, merupakan tradisi Posuo awal yang berkembang dalam masyarakat Buton. Kedua, Posuo Johoro yang berasal dari Johor-Melayu (Malaysia) dan ketiga, Posuo Arabu yang berkembang setelah Islam masuk ke Buton. Posuo Arabu merupakan hasil modifikasi nilai-nilai Posuo Wolio dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Posuo ini diadaptasi oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton yang hidup pada pertengahan abad XIX yang menjabat sebagai Kenipulu di Kesultanan Buton di bawah kepemimpinan Sultan Buton XXIX Muhammad Aydrus Qaimuddin. Tradisi Posuo Arabu inilah yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Buton.

Keistimewaan Upacara Posuo terletak pada prosesinya. Ada tiga tahap yang mesti dilalui oleh para peserta agar mendapat status sebagai gadis dewasa. Pertama, sesi pauncura atau pengukuhan peserta sebagai calon peserta Posuo. Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh bhisa senior (parika). Acara tersebut dimulai dengan tunuana dupa (membakar kemenyan) kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa. Setelah pembacaan doa selesai, parika melakukan panimpa (pemberkatan) kepada para peserta dengan memberikan sapuan asap kemenyan ke tubuh calon. Setelah itu, parika menyampaikan dua pesan, yaitu menjelaskan tujuan dari diadakannya upacara Posuo diiringi dengan pembacaan nama-nama para peserta upacara dan memberitahu kepada seluruh peserta dan juga keluarga bahwa selama upacara dilangsungkan, para peserta diisolasi dari dunia luar dan hanya boleh berhubungan dengan bhisa yang bertugas menemani para peserta yang sudah ditunjuk oleh pemangku adat.
Kedua, sesi bhaliana yimpo. Kegiatan ini dilaksanakan setelah upacara berjalan selama lima hari. Pada tahap ini para peserta diubah posisinya. Jika sebelummnya arah kepala menghadap ke selatan dan kaki ke arah utara, pada tahap ini kepala peserta dihadapkan ke arah barat dan kaki ke arah timur. Sesi ini berlangsung sampai hari ke tujuh.

Ketiga, sesi mata kariya. Tahap ini biasanya dilakukan tepat pada malam ke delapan dengan memandikan seluruh peserta yang ikut dalam Upacara Posuo menggunakan wadah bhosu (berupa buyung yang terbuat dari tanah liat). Khusus para peserta yang siap menikah, airnya dicampur dengan bunga cempaka dan bunga kamboja. Setelah selesai mandi, seluruh peserta didandani dengan busana ajo kalembe (khusus pakaian gadis dewasa). Biasanya peresmian tersebut dipimpin oleh istri moji (pejabat Masjid Keraton Buton).

Semua Upacara Posuo dimaksudkan untuk menguji kesucian (keperawanan) seorang gadis. Biasanya hal ini dapat dilihat dari ada atau tidaknya gendang yang pecah saat ditabuh oleh para bhisa. Jika ada gendang yang pecah, menunjukkan ada di antara peserta Posuo yang sudah tidak perawan dan jika tidak ada gendang yang pecah berarti para peserta diyakini masih perawan.

Category: 0 komentar

Batu Wolio, Lokasi Persemayaman Air Suci Pelantikan Sultan Buton


Batu Wolio, Lokasi Persemayaman Air Suci Pelantikan Sultan Buton
Tak Sampai di Buton Jika Tak Sentuh Batu Wolio. Itulah sebutan warga disana. Batu Wolio, sebuah situs budaya peninggalan masa kesultanan Buton. Terletak di tengah kawasan Benteng Keraton di kelurahan Melai kecamatan Murhum kota Bau Bau.

Tepatnya di sebelah timur Masjid Agung Keraton Buton. Jaraknya sekitar 3 km dari pusat kota, akses kesana sangat mudah, menggunakan Ojek, tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam.

Cukup dengan Rp 3000, kita sudah sampai ditujuan. Batu ini, menurut seorang budayawan Buton Hazirun Kudus, diperkirakan ditemukan pada tahun 1343 Masehi.

Dengan alasan, pendaratan pertama ekspedisi Kerajaan Majapahit di Sulawesi pada tahun 1342 Masehi. Sebagai realisasi sumpah palapa tahun 1337 M.

Berdasarkan mitos yang berkembang, ditempat inilah dulu diketemukannya putri Wakaaka, oleh seorang eks-panglima Kubilai khan Dungku Cangiang. Tepatnya di dalam sebuah rumpun bambu tolang, dimana masyarakat setempat menyebutnya bambu tombula.

Hazirun menuturkan, berdasarkan ilmu pengetahuan, batu wolio merupakan sebuah linggah, tempat pertirtaan atau pengambilan air suci.

“Jika berbicara mengenai linggah, maka erat kaitannya dengan keberadaan Agama Hindu yang pernah dianut masyarakat Buton sebelum masuknya ajaran agama islam yang dibawa Syekh Abdul Wahid. Ajaran Hindu tersebut berasal dari Siwa Jawa sebagai upaya perluasan wilayah oleh Kerajaan Majapahit yang senantiasa dibarengi penyebaran Agama Hindu,” katanya.

Batu wolio diriwayatkan dalam lembar sejarah Buton merupakan sebuah tugu batu setinggi satu meter yang digunakan sebagai tempat pengambilan air suci untuk dimandikan kepada calon Raja/Sultan Buton sebelum dilantik. Air di batu tersebut, berasal dari mata air di Tobe-tobe.

“Sultan dilantik hari Jumat. Namun satu hari sebelumnya, tepatnya Kamis sore, empat orang Bonto Siolimbona mengambil air di Tobe-tobe dan disimpan dalam wadah bambu sebanyak delapan ruas. Air tersebut kemudian ditumpah di Batu wolio,” Sambung Hazirun.

Hal senada juga diungkapkan Kepala Seksi Permuseuman, Budaya, dan Purbakala, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Laode Hafilu. Batu Wolio biasa disebut batu Igandangi.

Sebab, setelah air yang diambil dari mata air di Tobe-tobe itu, ditempatkan di Batu, kemudian diadakan acara pemukulan gendang.

“Pemukulan gendang dilakukan selama satu malam atau 12 jam, dimulai pada Kamis sore pukul 18.00 Wita hingga Jumat pagi pukul 06.00 Wita. Oleh sebab itu maka disebut Batu Igandangi,” tegas Hafilu.

Nilai filosifis dengan memandikan calon Sultan, tutur Hafilu, yakni kejadian manusia berasal dari setitik air kemudian menjadi seorang manusia.

“Proses pelantikan Sultan, proses kejadian manusia dari setitik air,” sambungnya.

Hazirun menambahkan, sebelum Salat Jumat dimulai, air di batu igandangi itu, kemudian diambil untuk dicampurkan dengan air mandi calon Sultan. Pelantikan sultan dilakukan di dalam Masjid Agung Keraton Buton dan di Batu Popaua.

“Di dalam mesjid dilantik oleh dua orang keturunan Nabi yang masih ada di Buton berdasarkan ajaran islam, sedangkan pelantikan di Batu Popaua dilakukan secara adat Kesultanan Buton,” tambahnya.

Hal ini dibenarkan Laode Hafilu, Sultan dilantik di dalam Masjid, kemudian diambil sumpahnya di Batu Popaua atau batu tempat pemutaran payung kerajaan/kesultanan.

“Yang melantik sultan yakni empat Bonto sebagai mangaama (bapak), sedangkan sultan sebagai mangaana (anak),” papar Hafilu.

Adapun prosedur pengambilan sumpah sultan secara adat kesultanan yakni pertama memasukan kaki kanan sultan ke dalam lubang batu Popaua dengan posisi tubuh menghadap ke timur dan diputarkan payung kerajaan/kesultanan sebanyak sembilan kali kemudian kaki kanan diangkat, selanjutnya digantikan kaki kiri, tubuh menghadap ke Barat dan diputarkan payung delapan kali.

Tujuannya, agar meminta sesuatu yang baik dari arah timur dan membuang hal buruk di arah Barat. Untuk diketahui, payung kerajaan tersebut berwarna kuning disebut payung lumbu-lumbu (hewan laut ubur-ubur) karena bentuknya menyerupai ubur-ubur yang mempunyai banyak tentakel.

Duplikat payung dapat dilihat di Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Bau-bau. Dari pengamatan, kini Batu Wolio telah dipugar dan dijaga dua orang warga Kelurahan Melai yakni Nursiah dan Lia.

“Kami telah menjaganya selama 15 tahun. Setiap hari kami kesini, berangkat dari rumah 08.00 Wita dan pulang pukul 17.30 Wita. Yang kami lakukan biasanya menyapu dan membersihkan tempat ini, ” tutur Nursiah.

Sebagai informasi, oleh karena sangat bertuahnya Batu Wolio ini diceritakan wisatawan yang berkunjung di Baubau dan belum ke tempat ini, maka dikatakan mereka belum pernah ke Buton.


sumber : http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

Category: 0 komentar

Membedah Demokrasi di Kesultanan Buton


Berwisata religi, budaya, dan wisata alam, bisa didapatkan sekaligus di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam benteng Keraton Buton yang didirikan pada abad 16 hingga kini masih mempraktikkan tatacara budaya masa lalu, baik soal keagamaan maupun demokratisasi yang baik.
KERAJAAN atau Kesultanan Wolio atau Buton diperkirakan berdiri pada abad empat belas, didirikan oleh para pendatang dari Johor. Pada masa awal telah terjalin hubungan dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Ratu pertama Buton, Wakaakaa, kawin dengan Pangeran Sibatara dari Majapahit. Raja Buton ketiga bernama Bataraguru dan raja keempat bernama Tuarade pernah mengunjungi Majapahit. Kunjungan Tuarade ini membawa pulang empat tanda kekuasaan raja yang kemudian dikenal sebagai Syara Jawa (Pranata Jawa). Prof Pim (JW) Schoorl dari Vrije University Amsterdam, yang melakukan penelitian soal budaya Buton menduga kuat bahwa Kerajaan Buton berada di bawah pengaruh Jawa-Hindu.

Dua abad kemudian, kerajaan itu berubah menjadi kesultanan. Perubahan sistem kerajaan menjadi kesultanan tidak lepas dari nama besar Sultan Murhum. Raja terakhir dari enam raja, sekaligus sultan pertama dari tiga puluh delapan sultan ini memerintah dari tahun 1538 hingga 1584, dengan gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul Hamis. Makamnya hingga saat ini masih terawat dengan baik di dalam kompleks keraton.

Murhum pertama kali masuk Islam pada tahun 1540. Adalah Syeikh Abdul Wahid bin Sulaiman, ulama asal Semananjung Tanah Melayu yang pertama mempekenalkan Islam pada raja Buton, hingga kemudian Islam berkembang di jazirah Tenggara pulau Sulawesi, seperti Muna dan Wawonii (Kota Kendari).

Nama Sultan Murhum diabadikan menjadi nama pelabuhan laut dan nama jalan di Kota Baubau. Di depan pelabuhan bahkan ada sebuah patung. ada yang menyebut Patung Alfaridzi, dan ada yang berpendapat  itu Patung Murhum (entalah mana yang benar sebab tidak ada petunjuk untuk hal itu) yang berfungsi sebagai bundaran simpang enam yang menghubungkan jalan-jalan utama dalam kota.
 
Saksi sejarah yang mendandaskan Buton sebagai sebuah kerajaan yang kuat dan penganut Islam taat adalah masih berdirinya benteng yang kokoh dan masigi (masjid) dalam wilayah keraton. Benteng Keraton Buton yang berdiri sejak abad 16 terletak di atas bukit, sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Baubau. Benteng berbentuk huruf ‘dal’ dalam aksara Arab, terbuat dari batu gunung yang direkatkan dengan menggunakan pasir dan kapur. Disebut-sebut sebagai benteng terluas di dunia, dengan luas 22,8 Ha dan panjang 2.740 meter. Tinggi benteng 1-8 meter dengan ketebalan dinding 50 cm hingga 2 meter. Memiliki 16 kubu pertahanan, 12 pintu, dilengkapi 100 meriam yang diletakkan di setiap pintu dan sudut benteng.

Di sisi tebing yang sekaligus pembatas benteng bagian belakang, terdapat sebuah ceruk. Letaknya tepat di bawah tanah keraton. Gua ini menjadi tempat persembunyian Arupalaka, Raja Bone, saat melarikan diri dari kejaran tentara Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa. Berkat sumpah Sultan Buton yang menyatakan Arupalaka tidak berada di atas tanah Buton, maka selamatlah Raja Bone itu. Konon Arupalaka masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan petinggi Kesultanan Buton.

Saking besar dan megahnya, bangunan ini pun dikenal dengan nama lain, yaitu Seribu Benteng. Sebab, bangunan ini terdiri dari beberapa benteng kecil di dalamnya. Benteng kecil ini menjadi pendukung bangunan induk, diantaranya adalah Benteng Sorawolio dan Benteng Baadia. Setiap benteng dihubungkan oleh jalan-jalan rahasia.
 
Benteng Sorawolio berfungsi sebagai pertahanan, karena tempatnya selain lebih aman juga tanahnya subur sehingga bisa membuat nyaman sebagai tempat bertahan bagi pihak kesultanan bila suatu saat lingkungan benteng induk dikuasai musuh. Sedangkan benteng Baadia fungsinya sebagai pengintaian, dimana berdasarkan letaknya yang stretagi pada ketinggian, di sekelilingnya adalah lembah. Selain itu ada pula daerah yang dijadikan sebagai fungsi penghancuran bagi musuh, yakni sebuah daerah tandus di bagian barat benteng, dikenal dengan nama Katobengke. Di tempat inilah pelaksanaan eksekusi bagi musuh.

Berdasarkan desain yang komplit seperti itu, maka Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim, mengatakan bahwa Benteng Keraton Buton adalah sebuah benteng pertahanan modern karena memenuhi unsur-unsur pertahanan perang, kendati dibangun jauh sebelum zaman modern.

Benteng Keraton Buton awalnya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang tersusun mengelilingi komplek istana, tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat. Mulai dibangun sejak pemerintahan La Sangaji ke-3 (1591-1597) dan selesai secara keseluruhan pada akhir pemerintahan Sultan ke-6, La Buke Gafarul Wadadu (1632-1645). Artinya, benteng ini dibangun dalam kurun waktu sekitar lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda.

Di dalam benteng terdapat situs-situs sejarah seperti batu popaua (batu pelantian raja/sultan), malige (rumah adat), masigi (Masjid) dan Sulana Tombi (Tiang Bendera). Sulana Tombi terletak di sebelah kanan masigi sebagai peninggalan sejarah yang sedianya adalah sebuah tiang bendera untuk mengibarkan bendera/panji Kesultananan Buton. Tiang bendera dengan tinggi 21 meter tersebut dibangun tahun 1712 di antara masa pemerintahan Sultan keempat Dayanu Iksanuddin dan Sultan kelima La Balawo bergelar Sultan Abdul Wahab atau Mosabuna yi Watole. Sulana Tombi kini disanggah empat tonggak lantaran sudah termakan usia. Tiang dari kayu jati ini pernah tersambar petir, namun masih terpancang dan pernah mengibarkan banyak bendera, mulai dari bendera Keraton Buton, Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah Putih.

Masigi Keraton (kini lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Keraton Buton)dibangun dua abad setelah masa kesultanan di Buton, tepatnya pada abad 18, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng hingga kini masih berfungsi sebagai tempat ibadah, mampu menampung jamaah hingga 500 orang.
 
Masigi Keraton dibangun berdasarkan arsitektur sederhana namun setiap komponen bangunannya sarat dengan simbol yang kaya akan makna. Menurut Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim, rangka masjid menggunakan 313 potongan kayu, sama banyaknya dengan jumlah tulang rangka manusia, serta dilengkapi 12 pintu dan jendela sebagai simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia, seperti lubang hidung, telinga, mata, mulut, dan seterusnya.

Pengaruh demokrasi dalam sistem kesultanan, juga berlaku pada anggota pengurus Masigi Keraton yang berjumlah lima puluh enam orang. Namanya Sarakidina. Mereka datang dari keturunan bangsawan maupun rakyat jelata. Tugas mereka terdiri dari satu orang lakina agama, satu orang imam, empat orang khatib, sepuluh orang moji dan empat puluh orang anggotanya.

Di era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik karena dapat mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut kesetaraan, proses penggantian salah satu pengurus masjid, dilakukan melalui musyawarah bersama.

Hari Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas, yakni menjelang salat Jumat. Petugas pemukul bedug disebut tungguna ganda, tidak boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan, dan irama yang telah ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain tenun khas Buton. Berbeda dengan lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih. Beban mental yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.

Ada banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang salat, para pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di tempat khusus. Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus untuk pengkotbah, diikat sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi, sebelum memimpin salat.

Jamaah mulai berdatangan. Imam melakukan salat terlebih dulu, sebelum melangkahkan kaki di sepanjang kain putih, menuju ke depan mimbar. Ada empat orang yang bertugas mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam ritual sebelum salat dimulai. Ritual sebelum salat dimulai terlihat rumit, namun semua yang dilakukan merupakan tradisi turun temurun, yang penuh dengan makna simbolis. Makna yang dicoba untuk dipertahankan demi nilai-nilai luhur bagi orang Buton.

Keberadaan para pengurus masjid ini begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus bertugas untuk mengurus jenazah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat, karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta kesejahteraan rakyat Buton.

Petugas juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu. Uniknya, jika banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan upaya para pengurus masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban kepercayaan itu begitu besar. terkadang sulit untuk dicerna.

Para pengurus masjid, sebelum menjalankan tugas terlebih dahulu dilantik dengan penyerahan tongkat sebagai “surat keputusan”nya. Khatib mempunyai tanggung jawab menjaga ketertiban lingkungan keraton, termasuk menjaga wabah penyakit. Bila dalam sepekan setelah khutbah di masigi ternyata terjadi bencana maka sang khatib pun akan dicopot dari jabatannya.

Di dalam lingkungan keraton juga ada malige, yakni rumah adat bersusun empat yang terbuat dari kayu. Uniknya rumah ini tidak menggunakan paku, melainkan didesain dari gigi-gigi buatan sebagai pengait antara satu sudut dengan sudut lainnya. Dengan demikian maka rumah ini bisa dibongkar pasang. Rumah-rumah Buton kebanyakan didesain seperti ini, sehingga di Buton kita dapat membeli rumah di satu tempat lalu dipindahkan ke tempat lain atau daerah lain. Rumah yang dibeli akan dibongkar kemudian dipasang kembali di tempat baru. Bisa saja rumah itu didirikan kembali di Jawa atau di luar negeri sekaligus, yang penting bisa mengangkut atau memindahkan bahan-bahan bangunan yang terlebih dahulu dibongkar. Istimewanya lagi bahwa malige bukanlah milik kerajaan, karena setiap raja Buton tidak mempunyai rumah jabatan. Setiap raja membangun rumah sendiri. Dalam lingkungan keraton ada juga batu popau, yakni tempat pelantikan raja. Batu ini berbentuk alat vital wanita. Di atas batu inilah setiap sultan yang terpilih dilantik dan diambil sumpahnya.

Selain wisata di Benteng Keraton, di Baubau masih banyak tempat-tempat lain yang bisa dikunjungi, tentu penuh dengan keindahan dan pemandangan yang menakjubkan. Tempat itu antara lain adalah keindahan alam Pulau Makasar yang juga penuh wisata budaya, air terjun tirta rimba, goa lakasa yang ada danau di dalamnya, goa mogo dengan kedalaman 30 meter -belum lama ini ditemukan keramik-keramik peninggalan purbakala. Selain itu ada pula wisata budaya seperti tatacara perkawinan, tatacara pendidikan anak, dan pekande-kandea berupa penyajian aneka makanan khas Buton dalam suatu upacara adat.

Untuk mencapai Kota Baubau dapat menggunakan jalur laut dan udara. Penerbangan pesawat dari Makassar (Sulawesi Selatan) menuju Baubau sebanyak enam kali seminggu (Senin off) dan pesawat dari Kendari (ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara) sebanyak tiga kali dalam sepekan. Selain itu, dari Kendari dapat ditempuh dengan jalur laut dan darat. Jalur laut dilayani kapal fiber cepat (Jet Voile) dua kali dalam sehari -setiap pukul 7.00 dan 12.00 Wita, sedangkan jalur darat melalui Pulau Muna dengan cara dua kali naik kapal ferry.

Bagi yang senang berpetualang dengan kapal laut, ke Baubau dapat menggunakan kapal motor milik PT Pelni, seperti KM Rinjani, KM Lambelu, KM Tilongkabila, dan lain-lain, semuanya berjumlah delapan kapal. Frekuensi kedatangan-keberangkatan kapal-kapal tersebut sebanyak 28 kali dalam sebulan yang berlayar dari dan ke bagian barat dan timur Indonesia seperti Makassar, Surabaya, Jakarta, Medan, Benoa Denpasar, Ambon, Bitung (Sulut), hingga Papua.
 

hamzah dan M.Jufri Rahim
sumber : kompasiana

Category: 0 komentar

Mengintip Kejayaan Buton Masa Lalu


Benteng Keraton Wolio merupakan salah satu situs peninggalan sejarah terbesar di Pulau Sulawesi tepatnya d pulau buton, sulawesi tenggara. Benteng ini memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga/kubu pertahanan (bastion) yang dalam bahasa setempat disebut baluara. Tiap pintu gerbang (lawa) dan baluara dikawal 4-6 meriam. Jumlah meriam seluruhnya 52 buah. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.

Benteng ini berdiri ketika Sultan ke-4 Kesultanan Buton Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631) gundah melihat banyaknya bajak laut yang menyerang rakyatnya. Untuk menghalau serangan bajak laut itu, Sultan memerintahkan prajuritnya membangun 16 baluara di sekeliling bukit Wolio. Pendirian baluara itu tidak dilakukan sembarangan.

Sultan mendasarkan pembangunan 16 baluara itu pada proses kelahiran manusia. Angka 16 dianggap angka kehidupan (nutfah). Sebab pada umur 160 hari, janin di kandungan seorang ibu akan ditiupkan roh tanda kehidupan oleh Allah SWT. Demikian pula dengan 16 baluara itu. Bangunan-bangunan itu diharapkan memberikan jaminan kehidupan bagi seluruh rakyat Kesultanan Buton pada masa itu.

Sultan Dayanu Ikhsanuddin kemudian digantikan oleh Sultan Abdul Wahab yang memerintah hanya selama setahun (1631-1632). Pada masa pemerintahannya, tak ada perubahan yang berarti pada 16 baluara itu.

Ketika sultan ke-5, Sultan Gafarul Wadudu (1632-1645) berkuasa, terjadi perubahan besar-besaran. Sultan Gafarul memerintahkan ribuan prajurit dan seluruh rakyatnya membangun benteng besar di puncak bukit Wolio dengan menghubung-hubungkan bangunan baluara itu dalam satu rangkaian.

Agar bangunan benteng yang dibangun itu sesuai dengan keinginannya, Sultan Gafarul Wadudu memerintahkan Perdana Menterinya Maa Waponda menjadi arsiteknya. Maa Waponda lalu membuat rancangan denah bangunan benteng berdasarkan bentuk salah satu huruf dalam aksara Arab yakni “Dhal”. Huruf dhal itu sendiri, diambil dari huruf terakhir yang pada nama Nabi Muhammad SAW.

Alasan Maa Waponda membuat rancangan denah seperti itu, karena ada salah satu sudut bangunan yang tidak dapat dipertemukan. Secara kebetulan, sudut yang dimaksud tepat di atas sebuah tebing yang sangat curam. Bukit Wolio memang berlokasi di sebuah kawasan berbatu cadas.

Karena sejak awal pembangunan Benteng Keraton Wolio didasarkan pada proses kehidupan manusia, Sultan Gafarul Wadudu kemudian memerintahkan pembangunan 12 buah Lawa (pintu gerbang) di sekeliling benteng. Angka 12 mengacu pada adanya 12 buah pintu (lubang) di tubuh manusia sebagai ciptaan Tuhan. Lawana Lanto, yang merupakan gerbang utama Benteng Keraton Wolio merupakan tamsil/pengandaian mulut manusia.

Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (ketebalan) dinding mencapai 50 centimeter. Bahan baku utama yang digunakan adalah batu-batu gunung yang disusun rapi dengan kapur dan rumput laut (agar-agar) serta putih telur sebagai bahan perekat. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng 401.911 meter persegi. Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan masyarakat di dalam kompleks benteng, Sultan Gafurul Wadudu juga membuat pasar.

Banyak obyek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno.

Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Tiongkok.

Putri itu kemudian dijadikan pimpinan (ratu). Pelantikan raja tersebut dilakukan di atas batu popaua. Batu ini terletak sekitar 200 meter dari batu Wolio. Permukaan batu popaua hampir rata dengan tanah, namun mempunyai lekukan berukuran hampir sama dengan telapak kaki manusia. Di lekukan itulah putri Wakaa-kaa menginjakkan kaki kanannya sambilmengucapkan sumpah jabatan sebagai ratu di bawah payung yang diputar sebanyak tujuh kali.

Karena itu batu tersebut disebut batu popaua (batu tempat diputarkan payung raja). Tradisi pelantikan ratu atau raja di atas batu tersebut berjalan hingga di zaman kesultanan, bentuk pemerintahan kerajaan Buton setelah masuknya Islam.

Batu popaua terletak di kaki sebuah bukit kecil tempat berdirinya Masjid Agung Keraton Buton. Masjid ini dibangun tahun 1712 di masa pemerintahan Sultan Buton XIX bernama Lang Kariri dengan gelar Sultan Sakiuddin Darul Alam. Masjid berukuran 21 kali 22 meter itu memiliki tiang bendera di sisi sebelah timur. Dalam tafsir Al Azhar karangan almarhum Buya Hamka disebutkan, tiang bendera itu juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan hukuman gantung menurut hukum Islam.

Tetapi ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut ”pusena tanah” (pusat bumi) oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat tersebut.

Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.

Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Menurut Drs H La Ode Manarfa (almarhum) semasa hidupnya, putera Sultan Buton ke-38, meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan.

Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat keluarga sultan dengan biaya sendiri.


sumber:kompasiana, diolah.

Category: 0 komentar

Masjid di Pusat Bumi


By Line: DEDY KURNIAWAN

Jumlah tiang penyangga utama Masjid Agung Wolio sama dengan jumlah ruas tulang manusia.

Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu'min atau lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Wolio terletak di kompleks benteng Keraton Kesultanan Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara. Masjid ini dibangun pada masa pemerintah Sultan Sakiuddin Darul Alam pada 1712.

Para ahli meyakini Masjid Agung Wolio adalah masjid tertua di Sulawesi Tenggara. Namun, sejatinya ada sebuah masjid lain yang lebih tua yang dibangun di masa pemerintah Sultan pertama Buton, Kaimuddin Khalifatul Khamis atau Sultan Murhum (1427- 1473).

Hanya, masjid itu terbakar dalam perang saudara di Kesultanan Buton. Selanjutnya, Sultan Sakiuddin Darul Alam, yang berhasil memenangi perang saudara tersebut, membangun Masjid Agung Wolio untuk mengganti masjid yang musnah terbakar.

Masyarakat setempat banyak yang percaya, Masjid Agung Wolio dibangun di atas pusena tanah (pusatnya bumi). Pusena tanah tersebut berupa pintu gua di bawah tanah yang berada tepat di belakang mihrab.

Disebut pusena tanah karena dari pintu gua vertikal itu konon sering terdengar suara azan dari Mekkah, Arab Saudi. Ada lagi mitos yang menyebutkan, jika melongok ke dalam lubang pusena, orang bisa melihat orang tua atau kerabat yang telah meninggal.

Namun, semua cerita rakyat itu dibantah Imam Masjid Agung Wolio, La Ode Ikhwan, 65 tahun. Menurut dia, lubang yang ada di masjid itu sebenarnya adalah pintu rahasia yang sengaja dibangun untuk menyelamatkan Sultan Buton dan keluarganya jika diserang musuh.

Ikhwan mengaku pernah masuk ke lubang itu. Di dalam lubang, kata dia, terdapat lima jalan rahasia yang mengarah ke sejumlah tempat tertentu di kompleks benteng. Salah satu jalan rahasia itu ada yang tembus ke selatan benteng, tak jauh dari kompleks makam Sultan Buton.

Ketika masjid ini direhabilitasi pertama kali di masa kekuasaan Sultan Muhammad Hamidi pada 1930-an, pintu gua tadi ditutup semen sehingga liangnya menjadi kecil dan bulat sebesar bola kaki. "Agar tak menimbulkan persepsi lain dari masyarakat, lubang tersebut ditutup dan di atasnya dibuat tempat imam memimpin salat," kata Ikhwan.

Pada arsitektur Masjid Agung Wolio yang berukuran 21 x 42 meter itu tergambar kentalnya pengaruh arsitektur bangunan Islam di Pulau Jawa dalam Kesultanan Buton. Buktinya adalah bentuk atap masjid yang bertumpuk (joglo).

Arsitektur masjid mempunyai makna filosofis yang erat kaitannya dengan manusia. Bila manusia memiliki kepala, badan, dan kaki, Masjid Agung Wolio memiliki rangka atas yang mewakili kepala, bangunan utama sebagai simbol badan, dan fondasi sebagai perwujudan kaki.

Sama dengan benteng Keraton Buton yang memiliki 12 gerbang, jumlah jendela yang ada di Masjid Agung Wolio 12 buah. Angka 12 merupakan simbol bahwa di tubuh manusia terdapat 12 lubang. Adapun jumlah tiang utama penyangga masjid ini 313 buah atau sama dengan jumlah ruas tulang di tubuh manusia.

Berbeda dengan masjid lainnya yang biasanya menempatkan beduk di luar ruangan masjid, di Masjid Agung Wolio beduk diletakkan di tengah-tengah ruangan masjid. Penempatan ini merupakan tamsil jantung di dalam tubuh manusia. Sementara itu, mihrab masjid merupakan simbol organ hati manusia. Adanya empat anak tangga menuju mihrab merupakan gambaran empat orang sahabat utama Nabi.

Masjid Agung Wolio tersusun atas tiga lantai, yang semuanya dihubungkan dengan tangga kayu. Lantai satu dan dua dulunya digunakan untuk salat, sedangkan lantai tiga sebagai tempat menyimpan barang-barang inventaris. Namun sekarang, tinggal lantai satu yang masih digunakan untuk salat. "Kami khawatir bangunan lantai dua akan roboh kalau banyak anggota jemaah yang salat di atasnya," tutur Ikhwan.

Untuk masuk ke ruangan masjid, pengunjung harus melalui anak tangga yang berjumlah 19 buah. Simbolisasi kembali terjadi. Jumlah 17 anak tangga merupakan simbol dari jumlah keseluruhan rakaat dalam salat lima waktu ditambah dua rakaat salat tahiyyatul masjid (salat saat memasuki masjid).

Di puncak anak tangga terdapat sebuah tempayan berisi air. Dulunya tempayan ini berfungsi sebagai tempat menampung air yang digunakan untuk berwudu. Tapi sekarang fungsinya hanya sebagai penghias masjid.

Peristiwa ditiupkannya roh oleh Sang Pencipta pada proses penciptaan manusia dilambangkan dengan pengurus masjid yang berjumlah 16 orang, yang terdiri atas satu orang kadi (lakina agama), satu orang imam, empat orang khatib (hatibi), dan 10 orang bilal (moji).

Angka 16 dianggap sebagai angka kehidupan (nutfah). Sebab, pada saat janin berumur 160 hari, Allah meniupkan roh kehidupan kepadanya. Hingga kini, perangkat masjid, baik nama, tugas, maupun jumlahnya, tetap dipertahankan sebagaimana masa Kesultanan Buton.

Menurut Wali Kota Baubau Amirul Tamim, tidak sembarang orang bisa diangkat menjadi perangkat masjid. "Mereka dipilih dan ditempa oleh pemuka agama dan tokoh masyarakat," ujarnya. Karena itu, terpilih sebagai perangkat masjid merupakan suatu hal yang sangat membanggakan.

Selain sebagai tempat pelaksanaan salat, Masjid Agung Wolio menjadi tempat perayaan tradisi keagamaan masyarakat setempat yang bisa dikemas sebagai daya tarik wisata. Salah satu tradisi yang masih terus dihidupkan adalah haroa (upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad) serta selamatan Idul Fitri, dan Idul Adha.

Secara tradisional, haroa dilaksanakan perorangan atau kelompok keluarga yang masih bertalian darah. Masing-masing penyelenggara mengundang satu sama lain, yang diperluas kepada keluarga agak jauh, sahabat, dan kenalan. Upacara diisi dengan pembacaan syair-syair memuji Nabi Muhammad (barzanji) dan ditutup dengan doa.

Hingga kini, masjid yang usianya lebih dari tiga abad itu masih tetap dimanfaatkan oleh masyarakat. Tak terbatas yang tinggal di seputar masjid, tapi juga warga Kota Baubau dan Kabupaten Buton. "Kalau Jumat, yang salat di sini banyak yang datang dari jauh," ungkap Ikhwan.

Category: 0 komentar

SEJARAH ASAL MULA ADANYA BURUNG MALEO DI PULAU BUTON YANG SAAT INI MERUPAKAN SATWA YANG DILINDUNGI OLEH PEMERINTAH




LATAR BELAKANG 
Burung Maleo di Pulau Buton dibawah oleh Muhammad Ali Idrus Putera Raja Aden yang menikah dengan Puteri Raja Pasai yang bernama Sultan Ahmad I atau ayah kandungnya berasal dari Sultan Brunei Pertama yang bernama Sultan Sulaiman Syarif Ali yang dinobatkan pada tahun 1298 Masehi.
Muhammad Ali Idrus ini bersepupu dengan Musarafatul Izzati Al Fakhriy Puteri tunggal Abdullah Badiy Uz Zamani dari Yatsrib-Madinah-Arabia dari keturunan Baginda Sayidina Ali Bin Abithalib. Menjelang dewasa ayah Al Fakhriy atau di Buton dikenal dengan nama Wa Kaa Kaa sebagai Raja Buton Ke-I tahun 1311-1332 Masehi.
Timbul pertanyaan : mengapa Al Fakhriy dari Madinah dan Muhammad Ali Idrus dari Pasai sampai di Pulau Buton ?
Sejarahnya sebagai berikut :

Muhammad Ali Idrus yang kawin dengan Puteri Raja Pasai itu mendengar berita bahwa pamannya bernama Abdullah Badiy Uz Zamani di Yatsrib Madinah telah meninggal dunia sehingga ia berangkat ke Madinah untuk ziarah kubur sekalian akan membawa sepupunya Al Fakhriy. Sesampainya di Madinah, Muhammad Ali Idrus berziarah dan mendengar cerita bahwa sepupunya yang telah ditinggal ayahnya itu pernah dia dilamar oleh Putera Raja Persia bernama Baidul Hasan tetapi dia tidak mau. Lantas untuk menghindari lamaran berikutnya oleh Putera Raja Persia itu dia setuju untuk ikut ke Pasai bersama Muhammad Ali Idrus. Tetapi rupanya hal ini diketahui oleh Putera Raja Persia bahwa Al Fakhriy itu akan ikut sepupunya ke Pasai, sehingga dia dilamar lagi yang kedua kalinya, namun Al Fakhriy tetap menolak halus lamaran tersebut dengan alas an bahwa dia belum ada niat untuk berkeluarga. Waktu itu Muhammad Ali Idrus sedang ke Johor pergi mengawinkan anak tunggalnya bernama Sulaiman Syarif Ali. Di Johor Muhammad Ali Idrus bertemu dengan Panglima mongol bernama Khun Khan Ching yang ketika itu sedang diperintah oleh Kaisar Mongol yang bernama Khubilai Khan. (baik Kaisar Tiongkok dan Khun khan Ching disebut Cina islam dari Hoe-Hoe daerah tar-tar dengan gelar Dung Kung Sang Hiang dan di Buton dikenal dengan nama Dungku Cangia). Khun Khan Ching atau Dungku Cangia lari berlindung ke Johor karena telah kalah perang waktu dia diperintah oleh kaisarnya meyerang Kerajaan Mojopahit di Jawa Timur).
Dalam buku sejarah Wali Songo, diceritakan pasukan Tar-Tar dari Mongol itu menang waktu menyerang Kerajaan Singosari. Namun sekembalinya dari peperangan pasukan tersebut melewati Sungai Berantas lantas digempur habis-habisan oleh pasukan raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit, sehingga pasukan Tar-tar tersebut lari kocar-kacir dan banyak yang meninggal dan Panglimanya bernama Khun Khan Ching menyelematkan diri lari ke Johor.
Muhammad Ali Idrus disamping bertemu dengan Khun Khan Ching di Johor, juga bertemu dengan seorang relawan bernama Sang Ria Rana, kemudian setelah acara pernikahan Puteranya di Johor selesai, kedua sahabatnya itu diajaknya ke Pasai dan merekapun setuju. Sesampainya di pasai sepupunya Muhammad Ali Idrus bernama Al Fakhriy menyampaikan bahwa ada utusan Raja Persia untuk melamarkan anaknya dengan dia tetapi Al Fakhriy menolaknya dengan halus dan kemudian Raja Persia itupun menjadi marah dan mengancam akan mengambil paksa Al Fakhriy ke Pasai. Akhirnya Al Fakhriy mengajak sepupunya Muhammad Ali idrus untuk keluar dari Pasai dan Muhammad Ali Idrus pun berunding dengan kedua sahabatnya itu dan sepakat akan keluar meninggalkan Pasai dengan mengendarai sebuah kapal yang bernama Magela Hein’s. Perjalananpun tak tentu arah menuju wilayah timur dan akhirnya terdampar di Pulau Buton tepatnya di Sorawolio.
Setelah tiba di Sorawolio, mereka berempat berpisah; Khun Khan Ching dan Sang Ria Rana menuju ke Tobe-Tobe Buton, sedang sepupunya Muhammad Ali idrus menuju ke Maligano Buton untuk membawa Burung Maleo atau dalam bahasa buton dikenal dengan nama Burung Mamua. Burung ini dibawanya dari Palembang ketika saat mengunjungi anaknya bernama Sayid Lillah yang berasal dari anak pada istri keduanya bernama Embo Endang. Ternyata sehabis melepas Burung Maleo di Maligano Buton Utara, Muhammad Ali Idrus kawin disana dengan Puteri Sangia Pure-Pure bernama Wa Birah. Dari hasil perkawinan Muhammad Ali Idrus dengan Wa Birah dikarunia seorang Puteri bernama Wa Nambo Yitonto atau nama gelar Wa Sala Bose. Pada waktu itu di Maligano Muhammad Ali idrus diberi gelar Lakina Maligano yang saat ini berdasarkan sejarah ini telah diabadikan menjadi Desa Maligano, Ronta Kabupaten Muna.
Sedangkan sepupunya bernama Al Fakhriy yang tinggal di Sorawolio dia bertapa selama 13 tahun lamanya didalam rumpun bambu tolang dan setelah 13 tahun ia bertapa lantas diketemukan oleh dua sahabatnya bernama Khun Khan Ching atau Dung Kung Sang Hiang dan Sang Ria Rana, dimana ketika itu tanpa sengaja kedua sahabatnya sedang mencari bambu tolang untuk mau dijadikan perangkat bubu penangkap ikan di laut. Pada saat sebelum diketemukan Al Fakhriy dalam rumpun bambu tolang tersebut, anjing yang dibawah oleh Sang Ria Rana menggonggong karena melihat sesuatu didalam rumpun bambu tolang tersebut namun kedua sahabatnya tersebut tetap dia menebas bambu tersebut dan mengenai rambut Al Fakhriy yang sedang bertapa sampai kedengaran suara Kaa Kaa karena Puteri Al Fakhriy rambutnya sedikit kena sobekan parang. Berdasarkan penemuan inilah dan teriakan inilah kedua sahabatnya memberi nama Al Fakhriy sebagai Wa Kaa Kaa dan diapun ketika itu menjadi perempuan sakti mandraguna setalah melalui pertapaan selama 13 tahun lamanya itu.
Kesaktian perempuan bernama Wa Kaa Kaa inipun gaunya melebar kemana-mana hingga didengar oleh 4 (empat) orang penguasa Buton juga mereka sakti yakni Si Panjonga yang berkuasa di Tobe-Tobe, Si Malui yang berkuasa di Kamaru, Si Jawangkati yang berkuasa di Wasuemba dan Si Tamanajo yang berkuasa di Gunung Lambelu yang dikenal dengan gunung Kamasope.
Si Panjonga dan Si Tamanajo berasal dari Melayu-Pasai, sedangkan Si Malui dan Si Jawangkati berasal dari Pariaman Sumatera Barat. Mereka berempat adalah orang orang sakti mandraguna keturunan para wali allah datang ke Pulau Buton atas petunjuk ghaib dan berombongan kira-kira tahun 1236 Masehi. 
Setelah mendengar berita bahwa di Sorawolio ada seorang pertapa perempuan yang ghaib, kermpat penguasa itu menjemputnya dengan membawa Wa kaa Kaa dengan sebuah tandu selanjutnya di bawah ke Istana Sipanjonga di Tobe-Tobe dan sekarang diabadikan Tobe-Tobe itu menjadi Keraton Buton. Dan ditempat injak kaki pertamanya Wa Kaa Kaa berbentuk lubang model mulut kelamin perempuan dan diabadikan menjadi tempat upacara pelantikan Raja-Raja atau Sultan-Sultan di Buton dan lubang itu sampai saat ini masih bias dijumpai letaknya persis dibelakang Mesjid Agung Keraton Buton dan Wa Kaa Kaa pun ketika itu dinobatkan menjadi Raja Pertama Buton.
Dari uraian sejarah di atas, jelas bahwa asal mula adanya Burung Maleo yang saat ini merupalan satwa yang sangat dilindungi oleh Pemerintah dan masuk RDB (Red Data Book) hanya terdapat di Pulau Buton, dan hingga saat ini telah berkembang ke seluruh Sulawesi.
Dalam hasil survey yang dilakukan pada tahun 1979 untuk menentukan habitat Burung Maleo, di Sulawesi Tenggara terdapat tiga tempat, yakni di Bubu Buton utara dimana pantainya berpasir hitam, di pantai maligano dan di Tanjung Kolono Konawe Selatan. Tetapi sayang telur-telurnya banyak diambil oleh orang yang tidak bertanggungjawab dimana juga penjagaannya kurang intensif sehingga perkembangan Burung Maleo itu kurang baik.
Satu lagi kisah antropologis manusia dan margasatwa yang terukir sebagai pelaku sejarah di Pulau Buton pada zamannya dan diperlukan penelitian lebih lanjut secara aksiologis hubungan-hubungan antar atropologis manusia dan ethmologis manusia yang mendiami pulau Buton masa lalu hubungannya dengan silsilah bangsa-bangsa di dunia termasuk konstelasi margasatwanya. Bagi para ahli arkiologis, antropologis kontemporer, ethnologis dan sejarah kini anda semua ditantang untuk dapat menguak bagian-bagian dari kisah ini guna pengembangan khasanah ilmu pengetahuan dan sejarah Indonesia bagi anak cucu kita di kemudian hari.


Oleh : Raden Muhammad Hoesein Hambari 
sumber : bumibuton

Category: 1 komentar