Berwisata religi, budaya, dan wisata alam, bisa didapatkan sekaligus di Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam benteng Keraton Buton yang didirikan pada abad 16 hingga kini masih mempraktikkan tatacara budaya masa lalu, baik soal keagamaan maupun demokratisasi yang baik.
KERAJAAN atau Kesultanan Wolio atau Buton diperkirakan berdiri pada abad empat belas, didirikan oleh para pendatang dari Johor. Pada masa awal telah terjalin hubungan dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Ratu pertama Buton, Wakaakaa, kawin dengan Pangeran Sibatara dari Majapahit. Raja Buton ketiga bernama Bataraguru dan raja keempat bernama Tuarade pernah mengunjungi Majapahit. Kunjungan Tuarade ini membawa pulang empat tanda kekuasaan raja yang kemudian dikenal sebagai Syara Jawa (Pranata Jawa). Prof Pim (JW) Schoorl dari Vrije University Amsterdam, yang melakukan penelitian soal budaya Buton menduga kuat bahwa Kerajaan Buton berada di bawah pengaruh Jawa-Hindu.
Dua abad kemudian, kerajaan itu berubah menjadi kesultanan. Perubahan sistem kerajaan menjadi kesultanan tidak lepas dari nama besar Sultan Murhum. Raja terakhir dari enam raja, sekaligus sultan pertama dari tiga puluh delapan sultan ini memerintah dari tahun 1538 hingga 1584, dengan gelar Murhum Kaimuddin Khalifatul Hamis. Makamnya hingga saat ini masih terawat dengan baik di dalam kompleks keraton.
Murhum pertama kali masuk Islam pada tahun 1540. Adalah Syeikh Abdul Wahid bin Sulaiman, ulama asal Semananjung Tanah Melayu yang pertama mempekenalkan Islam pada raja Buton, hingga kemudian Islam berkembang di jazirah Tenggara pulau Sulawesi, seperti Muna dan Wawonii (Kota Kendari).
Nama Sultan Murhum diabadikan menjadi nama pelabuhan laut dan nama jalan di Kota Baubau. Di depan pelabuhan bahkan ada sebuah patung. ada yang menyebut Patung Alfaridzi, dan ada yang berpendapat itu Patung Murhum (entalah mana yang benar sebab tidak ada petunjuk untuk hal itu) yang berfungsi sebagai bundaran simpang enam yang menghubungkan jalan-jalan utama dalam kota.
Saksi sejarah yang mendandaskan Buton sebagai sebuah kerajaan yang kuat dan penganut Islam taat adalah masih berdirinya benteng yang kokoh dan masigi (masjid) dalam wilayah keraton. Benteng Keraton Buton yang berdiri sejak abad 16 terletak di atas bukit, sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Baubau. Benteng berbentuk huruf ‘dal’ dalam aksara Arab, terbuat dari batu gunung yang direkatkan dengan menggunakan pasir dan kapur. Disebut-sebut sebagai benteng terluas di dunia, dengan luas 22,8 Ha dan panjang 2.740 meter. Tinggi benteng 1-8 meter dengan ketebalan dinding 50 cm hingga 2 meter. Memiliki 16 kubu pertahanan, 12 pintu, dilengkapi 100 meriam yang diletakkan di setiap pintu dan sudut benteng.
Di sisi tebing yang sekaligus pembatas benteng bagian belakang, terdapat sebuah ceruk. Letaknya tepat di bawah tanah keraton. Gua ini menjadi tempat persembunyian Arupalaka, Raja Bone, saat melarikan diri dari kejaran tentara Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa. Berkat sumpah Sultan Buton yang menyatakan Arupalaka tidak berada di atas tanah Buton, maka selamatlah Raja Bone itu. Konon Arupalaka masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan petinggi Kesultanan Buton.
Saking besar dan megahnya, bangunan ini pun dikenal dengan nama lain, yaitu Seribu Benteng. Sebab, bangunan ini terdiri dari beberapa benteng kecil di dalamnya. Benteng kecil ini menjadi pendukung bangunan induk, diantaranya adalah Benteng Sorawolio dan Benteng Baadia. Setiap benteng dihubungkan oleh jalan-jalan rahasia.
Benteng Sorawolio berfungsi sebagai pertahanan, karena tempatnya selain lebih aman juga tanahnya subur sehingga bisa membuat nyaman sebagai tempat bertahan bagi pihak kesultanan bila suatu saat lingkungan benteng induk dikuasai musuh. Sedangkan benteng Baadia fungsinya sebagai pengintaian, dimana berdasarkan letaknya yang stretagi pada ketinggian, di sekelilingnya adalah lembah. Selain itu ada pula daerah yang dijadikan sebagai fungsi penghancuran bagi musuh, yakni sebuah daerah tandus di bagian barat benteng, dikenal dengan nama Katobengke. Di tempat inilah pelaksanaan eksekusi bagi musuh.
Berdasarkan desain yang komplit seperti itu, maka Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim, mengatakan bahwa Benteng Keraton Buton adalah sebuah benteng pertahanan modern karena memenuhi unsur-unsur pertahanan perang, kendati dibangun jauh sebelum zaman modern.
Benteng Keraton Buton awalnya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang tersusun mengelilingi komplek istana, tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat. Mulai dibangun sejak pemerintahan La Sangaji ke-3 (1591-1597) dan selesai secara keseluruhan pada akhir pemerintahan Sultan ke-6, La Buke Gafarul Wadadu (1632-1645). Artinya, benteng ini dibangun dalam kurun waktu sekitar lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda.
Di dalam benteng terdapat situs-situs sejarah seperti batu popaua (batu pelantian raja/sultan), malige (rumah adat), masigi (Masjid) dan Sulana Tombi (Tiang Bendera). Sulana Tombi terletak di sebelah kanan masigi sebagai peninggalan sejarah yang sedianya adalah sebuah tiang bendera untuk mengibarkan bendera/panji Kesultananan Buton. Tiang bendera dengan tinggi 21 meter tersebut dibangun tahun 1712 di antara masa pemerintahan Sultan keempat Dayanu Iksanuddin dan Sultan kelima La Balawo bergelar Sultan Abdul Wahab atau Mosabuna yi Watole. Sulana Tombi kini disanggah empat tonggak lantaran sudah termakan usia. Tiang dari kayu jati ini pernah tersambar petir, namun masih terpancang dan pernah mengibarkan banyak bendera, mulai dari bendera Keraton Buton, Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah Putih.
Masigi Keraton (kini lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Keraton Buton)dibangun dua abad setelah masa kesultanan di Buton, tepatnya pada abad 18, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng hingga kini masih berfungsi sebagai tempat ibadah, mampu menampung jamaah hingga 500 orang.
Masigi Keraton dibangun berdasarkan arsitektur sederhana namun setiap komponen bangunannya sarat dengan simbol yang kaya akan makna. Menurut Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim, rangka masjid menggunakan 313 potongan kayu, sama banyaknya dengan jumlah tulang rangka manusia, serta dilengkapi 12 pintu dan jendela sebagai simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia, seperti lubang hidung, telinga, mata, mulut, dan seterusnya.
Pengaruh demokrasi dalam sistem kesultanan, juga berlaku pada anggota pengurus Masigi Keraton yang berjumlah lima puluh enam orang. Namanya Sarakidina. Mereka datang dari keturunan bangsawan maupun rakyat jelata. Tugas mereka terdiri dari satu orang lakina agama, satu orang imam, empat orang khatib, sepuluh orang moji dan empat puluh orang anggotanya.
Di era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik karena dapat mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut kesetaraan, proses penggantian salah satu pengurus masjid, dilakukan melalui musyawarah bersama.
Hari Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas, yakni menjelang salat Jumat. Petugas pemukul bedug disebut tungguna ganda, tidak boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan, dan irama yang telah ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain tenun khas Buton. Berbeda dengan lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih. Beban mental yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.
Ada banyak kebiasaan yang menjadi hal istimewa dari masjid ini. Menjelang salat, para pengurus masjid datang dan menyandarkan tongkat jabatannya, berderet di tempat khusus. Tongkat tampaknya mewakili sesuatu yang penting. Tongkat khusus untuk pengkotbah, diikat sejajar tiang mimbar. Kesungguhan tercermin dari keseriusan imam yang duduk berkonsentrasi, sebelum memimpin salat.
Jamaah mulai berdatangan. Imam melakukan salat terlebih dulu, sebelum melangkahkan kaki di sepanjang kain putih, menuju ke depan mimbar. Ada empat orang yang bertugas mengumandangkan adzan. Kesan sakral tampak kuat dalam ritual sebelum salat dimulai. Ritual sebelum salat dimulai terlihat rumit, namun semua yang dilakukan merupakan tradisi turun temurun, yang penuh dengan makna simbolis. Makna yang dicoba untuk dipertahankan demi nilai-nilai luhur bagi orang Buton.
Keberadaan para pengurus masjid ini begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus bertugas untuk mengurus jenazah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat, karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta kesejahteraan rakyat Buton.
Petugas juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu. Uniknya, jika banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan upaya para pengurus masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban kepercayaan itu begitu besar. terkadang sulit untuk dicerna.
Para pengurus masjid, sebelum menjalankan tugas terlebih dahulu dilantik dengan penyerahan tongkat sebagai “surat keputusan”nya. Khatib mempunyai tanggung jawab menjaga ketertiban lingkungan keraton, termasuk menjaga wabah penyakit. Bila dalam sepekan setelah khutbah di masigi ternyata terjadi bencana maka sang khatib pun akan dicopot dari jabatannya.
Di dalam lingkungan keraton juga ada malige, yakni rumah adat bersusun empat yang terbuat dari kayu. Uniknya rumah ini tidak menggunakan paku, melainkan didesain dari gigi-gigi buatan sebagai pengait antara satu sudut dengan sudut lainnya. Dengan demikian maka rumah ini bisa dibongkar pasang. Rumah-rumah Buton kebanyakan didesain seperti ini, sehingga di Buton kita dapat membeli rumah di satu tempat lalu dipindahkan ke tempat lain atau daerah lain. Rumah yang dibeli akan dibongkar kemudian dipasang kembali di tempat baru. Bisa saja rumah itu didirikan kembali di Jawa atau di luar negeri sekaligus, yang penting bisa mengangkut atau memindahkan bahan-bahan bangunan yang terlebih dahulu dibongkar. Istimewanya lagi bahwa malige bukanlah milik kerajaan, karena setiap raja Buton tidak mempunyai rumah jabatan. Setiap raja membangun rumah sendiri. Dalam lingkungan keraton ada juga batu popau, yakni tempat pelantikan raja. Batu ini berbentuk alat vital wanita. Di atas batu inilah setiap sultan yang terpilih dilantik dan diambil sumpahnya.
Selain wisata di Benteng Keraton, di Baubau masih banyak tempat-tempat lain yang bisa dikunjungi, tentu penuh dengan keindahan dan pemandangan yang menakjubkan. Tempat itu antara lain adalah keindahan alam Pulau Makasar yang juga penuh wisata budaya, air terjun tirta rimba, goa lakasa yang ada danau di dalamnya, goa mogo dengan kedalaman 30 meter -belum lama ini ditemukan keramik-keramik peninggalan purbakala. Selain itu ada pula wisata budaya seperti tatacara perkawinan, tatacara pendidikan anak, dan pekande-kandea berupa penyajian aneka makanan khas Buton dalam suatu upacara adat.
Untuk mencapai Kota Baubau dapat menggunakan jalur laut dan udara. Penerbangan pesawat dari Makassar (Sulawesi Selatan) menuju Baubau sebanyak enam kali seminggu (Senin off) dan pesawat dari Kendari (ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara) sebanyak tiga kali dalam sepekan. Selain itu, dari Kendari dapat ditempuh dengan jalur laut dan darat. Jalur laut dilayani kapal fiber cepat (Jet Voile) dua kali dalam sehari -setiap pukul 7.00 dan 12.00 Wita, sedangkan jalur darat melalui Pulau Muna dengan cara dua kali naik kapal ferry.
Bagi yang senang berpetualang dengan kapal laut, ke Baubau dapat menggunakan kapal motor milik PT Pelni, seperti KM Rinjani, KM Lambelu, KM Tilongkabila, dan lain-lain, semuanya berjumlah delapan kapal. Frekuensi kedatangan-keberangkatan kapal-kapal tersebut sebanyak 28 kali dalam sebulan yang berlayar dari dan ke bagian barat dan timur Indonesia seperti Makassar, Surabaya, Jakarta, Medan, Benoa Denpasar, Ambon, Bitung (Sulut), hingga Papua.
hamzah dan M.Jufri Rahim
sumber : kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar