By Line: DEDY KURNIAWAN
Jumlah tiang penyangga utama Masjid Agung Wolio sama dengan jumlah ruas tulang manusia.
Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu'min atau lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Wolio terletak di kompleks benteng Keraton Kesultanan Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara. Masjid ini dibangun pada masa pemerintah Sultan Sakiuddin Darul Alam pada 1712.
Para ahli meyakini Masjid Agung Wolio adalah masjid tertua di Sulawesi Tenggara. Namun, sejatinya ada sebuah masjid lain yang lebih tua yang dibangun di masa pemerintah Sultan pertama Buton, Kaimuddin Khalifatul Khamis atau Sultan Murhum (1427- 1473).
Hanya, masjid itu terbakar dalam perang saudara di Kesultanan Buton. Selanjutnya, Sultan Sakiuddin Darul Alam, yang berhasil memenangi perang saudara tersebut, membangun Masjid Agung Wolio untuk mengganti masjid yang musnah terbakar.
Masyarakat setempat banyak yang percaya, Masjid Agung Wolio dibangun di atas pusena tanah (pusatnya bumi). Pusena tanah tersebut berupa pintu gua di bawah tanah yang berada tepat di belakang mihrab.
Disebut pusena tanah karena dari pintu gua vertikal itu konon sering terdengar suara azan dari Mekkah, Arab Saudi. Ada lagi mitos yang menyebutkan, jika melongok ke dalam lubang pusena, orang bisa melihat orang tua atau kerabat yang telah meninggal.
Namun, semua cerita rakyat itu dibantah Imam Masjid Agung Wolio, La Ode Ikhwan, 65 tahun. Menurut dia, lubang yang ada di masjid itu sebenarnya adalah pintu rahasia yang sengaja dibangun untuk menyelamatkan Sultan Buton dan keluarganya jika diserang musuh.
Ikhwan mengaku pernah masuk ke lubang itu. Di dalam lubang, kata dia, terdapat lima jalan rahasia yang mengarah ke sejumlah tempat tertentu di kompleks benteng. Salah satu jalan rahasia itu ada yang tembus ke selatan benteng, tak jauh dari kompleks makam Sultan Buton.
Ketika masjid ini direhabilitasi pertama kali di masa kekuasaan Sultan Muhammad Hamidi pada 1930-an, pintu gua tadi ditutup semen sehingga liangnya menjadi kecil dan bulat sebesar bola kaki. "Agar tak menimbulkan persepsi lain dari masyarakat, lubang tersebut ditutup dan di atasnya dibuat tempat imam memimpin salat," kata Ikhwan.
Pada arsitektur Masjid Agung Wolio yang berukuran 21 x 42 meter itu tergambar kentalnya pengaruh arsitektur bangunan Islam di Pulau Jawa dalam Kesultanan Buton. Buktinya adalah bentuk atap masjid yang bertumpuk (joglo).
Arsitektur masjid mempunyai makna filosofis yang erat kaitannya dengan manusia. Bila manusia memiliki kepala, badan, dan kaki, Masjid Agung Wolio memiliki rangka atas yang mewakili kepala, bangunan utama sebagai simbol badan, dan fondasi sebagai perwujudan kaki.
Sama dengan benteng Keraton Buton yang memiliki 12 gerbang, jumlah jendela yang ada di Masjid Agung Wolio 12 buah. Angka 12 merupakan simbol bahwa di tubuh manusia terdapat 12 lubang. Adapun jumlah tiang utama penyangga masjid ini 313 buah atau sama dengan jumlah ruas tulang di tubuh manusia.
Berbeda dengan masjid lainnya yang biasanya menempatkan beduk di luar ruangan masjid, di Masjid Agung Wolio beduk diletakkan di tengah-tengah ruangan masjid. Penempatan ini merupakan tamsil jantung di dalam tubuh manusia. Sementara itu, mihrab masjid merupakan simbol organ hati manusia. Adanya empat anak tangga menuju mihrab merupakan gambaran empat orang sahabat utama Nabi.
Masjid Agung Wolio tersusun atas tiga lantai, yang semuanya dihubungkan dengan tangga kayu. Lantai satu dan dua dulunya digunakan untuk salat, sedangkan lantai tiga sebagai tempat menyimpan barang-barang inventaris. Namun sekarang, tinggal lantai satu yang masih digunakan untuk salat. "Kami khawatir bangunan lantai dua akan roboh kalau banyak anggota jemaah yang salat di atasnya," tutur Ikhwan.
Untuk masuk ke ruangan masjid, pengunjung harus melalui anak tangga yang berjumlah 19 buah. Simbolisasi kembali terjadi. Jumlah 17 anak tangga merupakan simbol dari jumlah keseluruhan rakaat dalam salat lima waktu ditambah dua rakaat salat tahiyyatul masjid (salat saat memasuki masjid).
Di puncak anak tangga terdapat sebuah tempayan berisi air. Dulunya tempayan ini berfungsi sebagai tempat menampung air yang digunakan untuk berwudu. Tapi sekarang fungsinya hanya sebagai penghias masjid.
Peristiwa ditiupkannya roh oleh Sang Pencipta pada proses penciptaan manusia dilambangkan dengan pengurus masjid yang berjumlah 16 orang, yang terdiri atas satu orang kadi (lakina agama), satu orang imam, empat orang khatib (hatibi), dan 10 orang bilal (moji).
Angka 16 dianggap sebagai angka kehidupan (nutfah). Sebab, pada saat janin berumur 160 hari, Allah meniupkan roh kehidupan kepadanya. Hingga kini, perangkat masjid, baik nama, tugas, maupun jumlahnya, tetap dipertahankan sebagaimana masa Kesultanan Buton.
Menurut Wali Kota Baubau Amirul Tamim, tidak sembarang orang bisa diangkat menjadi perangkat masjid. "Mereka dipilih dan ditempa oleh pemuka agama dan tokoh masyarakat," ujarnya. Karena itu, terpilih sebagai perangkat masjid merupakan suatu hal yang sangat membanggakan.
Selain sebagai tempat pelaksanaan salat, Masjid Agung Wolio menjadi tempat perayaan tradisi keagamaan masyarakat setempat yang bisa dikemas sebagai daya tarik wisata. Salah satu tradisi yang masih terus dihidupkan adalah haroa (upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad) serta selamatan Idul Fitri, dan Idul Adha.
Secara tradisional, haroa dilaksanakan perorangan atau kelompok keluarga yang masih bertalian darah. Masing-masing penyelenggara mengundang satu sama lain, yang diperluas kepada keluarga agak jauh, sahabat, dan kenalan. Upacara diisi dengan pembacaan syair-syair memuji Nabi Muhammad (barzanji) dan ditutup dengan doa.
Hingga kini, masjid yang usianya lebih dari tiga abad itu masih tetap dimanfaatkan oleh masyarakat. Tak terbatas yang tinggal di seputar masjid, tapi juga warga Kota Baubau dan Kabupaten Buton. "Kalau Jumat, yang salat di sini banyak yang datang dari jauh," ungkap Ikhwan.
Jumlah tiang penyangga utama Masjid Agung Wolio sama dengan jumlah ruas tulang manusia.
Masjid Al-Muqarrabin Syafyi Shaful Mu'min atau lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Wolio terletak di kompleks benteng Keraton Kesultanan Buton, Baubau, Sulawesi Tenggara. Masjid ini dibangun pada masa pemerintah Sultan Sakiuddin Darul Alam pada 1712.
Para ahli meyakini Masjid Agung Wolio adalah masjid tertua di Sulawesi Tenggara. Namun, sejatinya ada sebuah masjid lain yang lebih tua yang dibangun di masa pemerintah Sultan pertama Buton, Kaimuddin Khalifatul Khamis atau Sultan Murhum (1427- 1473).
Hanya, masjid itu terbakar dalam perang saudara di Kesultanan Buton. Selanjutnya, Sultan Sakiuddin Darul Alam, yang berhasil memenangi perang saudara tersebut, membangun Masjid Agung Wolio untuk mengganti masjid yang musnah terbakar.
Masyarakat setempat banyak yang percaya, Masjid Agung Wolio dibangun di atas pusena tanah (pusatnya bumi). Pusena tanah tersebut berupa pintu gua di bawah tanah yang berada tepat di belakang mihrab.
Disebut pusena tanah karena dari pintu gua vertikal itu konon sering terdengar suara azan dari Mekkah, Arab Saudi. Ada lagi mitos yang menyebutkan, jika melongok ke dalam lubang pusena, orang bisa melihat orang tua atau kerabat yang telah meninggal.
Namun, semua cerita rakyat itu dibantah Imam Masjid Agung Wolio, La Ode Ikhwan, 65 tahun. Menurut dia, lubang yang ada di masjid itu sebenarnya adalah pintu rahasia yang sengaja dibangun untuk menyelamatkan Sultan Buton dan keluarganya jika diserang musuh.
Ikhwan mengaku pernah masuk ke lubang itu. Di dalam lubang, kata dia, terdapat lima jalan rahasia yang mengarah ke sejumlah tempat tertentu di kompleks benteng. Salah satu jalan rahasia itu ada yang tembus ke selatan benteng, tak jauh dari kompleks makam Sultan Buton.
Ketika masjid ini direhabilitasi pertama kali di masa kekuasaan Sultan Muhammad Hamidi pada 1930-an, pintu gua tadi ditutup semen sehingga liangnya menjadi kecil dan bulat sebesar bola kaki. "Agar tak menimbulkan persepsi lain dari masyarakat, lubang tersebut ditutup dan di atasnya dibuat tempat imam memimpin salat," kata Ikhwan.
Pada arsitektur Masjid Agung Wolio yang berukuran 21 x 42 meter itu tergambar kentalnya pengaruh arsitektur bangunan Islam di Pulau Jawa dalam Kesultanan Buton. Buktinya adalah bentuk atap masjid yang bertumpuk (joglo).
Arsitektur masjid mempunyai makna filosofis yang erat kaitannya dengan manusia. Bila manusia memiliki kepala, badan, dan kaki, Masjid Agung Wolio memiliki rangka atas yang mewakili kepala, bangunan utama sebagai simbol badan, dan fondasi sebagai perwujudan kaki.
Sama dengan benteng Keraton Buton yang memiliki 12 gerbang, jumlah jendela yang ada di Masjid Agung Wolio 12 buah. Angka 12 merupakan simbol bahwa di tubuh manusia terdapat 12 lubang. Adapun jumlah tiang utama penyangga masjid ini 313 buah atau sama dengan jumlah ruas tulang di tubuh manusia.
Berbeda dengan masjid lainnya yang biasanya menempatkan beduk di luar ruangan masjid, di Masjid Agung Wolio beduk diletakkan di tengah-tengah ruangan masjid. Penempatan ini merupakan tamsil jantung di dalam tubuh manusia. Sementara itu, mihrab masjid merupakan simbol organ hati manusia. Adanya empat anak tangga menuju mihrab merupakan gambaran empat orang sahabat utama Nabi.
Masjid Agung Wolio tersusun atas tiga lantai, yang semuanya dihubungkan dengan tangga kayu. Lantai satu dan dua dulunya digunakan untuk salat, sedangkan lantai tiga sebagai tempat menyimpan barang-barang inventaris. Namun sekarang, tinggal lantai satu yang masih digunakan untuk salat. "Kami khawatir bangunan lantai dua akan roboh kalau banyak anggota jemaah yang salat di atasnya," tutur Ikhwan.
Untuk masuk ke ruangan masjid, pengunjung harus melalui anak tangga yang berjumlah 19 buah. Simbolisasi kembali terjadi. Jumlah 17 anak tangga merupakan simbol dari jumlah keseluruhan rakaat dalam salat lima waktu ditambah dua rakaat salat tahiyyatul masjid (salat saat memasuki masjid).
Di puncak anak tangga terdapat sebuah tempayan berisi air. Dulunya tempayan ini berfungsi sebagai tempat menampung air yang digunakan untuk berwudu. Tapi sekarang fungsinya hanya sebagai penghias masjid.
Peristiwa ditiupkannya roh oleh Sang Pencipta pada proses penciptaan manusia dilambangkan dengan pengurus masjid yang berjumlah 16 orang, yang terdiri atas satu orang kadi (lakina agama), satu orang imam, empat orang khatib (hatibi), dan 10 orang bilal (moji).
Angka 16 dianggap sebagai angka kehidupan (nutfah). Sebab, pada saat janin berumur 160 hari, Allah meniupkan roh kehidupan kepadanya. Hingga kini, perangkat masjid, baik nama, tugas, maupun jumlahnya, tetap dipertahankan sebagaimana masa Kesultanan Buton.
Menurut Wali Kota Baubau Amirul Tamim, tidak sembarang orang bisa diangkat menjadi perangkat masjid. "Mereka dipilih dan ditempa oleh pemuka agama dan tokoh masyarakat," ujarnya. Karena itu, terpilih sebagai perangkat masjid merupakan suatu hal yang sangat membanggakan.
Selain sebagai tempat pelaksanaan salat, Masjid Agung Wolio menjadi tempat perayaan tradisi keagamaan masyarakat setempat yang bisa dikemas sebagai daya tarik wisata. Salah satu tradisi yang masih terus dihidupkan adalah haroa (upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad) serta selamatan Idul Fitri, dan Idul Adha.
Secara tradisional, haroa dilaksanakan perorangan atau kelompok keluarga yang masih bertalian darah. Masing-masing penyelenggara mengundang satu sama lain, yang diperluas kepada keluarga agak jauh, sahabat, dan kenalan. Upacara diisi dengan pembacaan syair-syair memuji Nabi Muhammad (barzanji) dan ditutup dengan doa.
Hingga kini, masjid yang usianya lebih dari tiga abad itu masih tetap dimanfaatkan oleh masyarakat. Tak terbatas yang tinggal di seputar masjid, tapi juga warga Kota Baubau dan Kabupaten Buton. "Kalau Jumat, yang salat di sini banyak yang datang dari jauh," ungkap Ikhwan.
0 komentar:
Posting Komentar