Masyarakat Siontapina Gelar Ritual

Masyarakat adat Gunung Siontapina, Kecamatan Lasalimu, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, menggelar ritual tahunan di Puncak Gunung Siontapina selama tiga hari.
 
Ketua Adat Siontapina yang dalam bahasa setempat disebut Bonto Kabumbu Siontapina La Denggela di Buton, Jumat, megatakan, ritual tahunan yang dilakukan oleh masyarakat adat gunung Siontapina terdiri dari atas rumpun yaitu Wasuamba, Labuandiri, Lawele dan Kamaru.

Namun sebelumnya masyarakat telah melakukan sejumlah persiapan mulai dari perjalanan mendaki Gunung Siontapina sejak beberapa hari sebelumnya sejauh 45 kilometer.

"Masyarakat mulai mamasuki hutan belantara untuk mancapai puncak Gunung Siontapina sejak dua atau tiga hari sebelum pelaksanaan ritual adat berlangsung," katanya.

Ia menambahkan, pelaksanaan ritual tahunan ini sesuai dengan wasiat Sultan La Ode Himayatuddin Muhamad Saidi atau biasa disebut Oputa Sangia Yikoo.
"Ritual adat ini tidak pernah terlewatkan oleh masyarakat setempat setiap tahun. Bahkan ada masyarakat dari luar yang ikut menyaksikan ritual yang sakral ini," katanya.

Ia menambahkan, tujuan dari ritual tahunan ini adalah untuk mempersatukan dan mempertahankan paham-paham yang telah diamanatkan oleh para leluhur di Buton ini.

"Dalam pelaksanaannya, ritual tahunan ini terdiri dari beberapa rangkaian acara, yaitu acara yang paling awal adalah Sambure’a, kemudian Sangka, dan acara ketiga yaitu acara puncak yaitu pemutaran payung," tambahnnya.
Ritual Samburea sebagai acara awal yang dilakukan oleh masyarakat adat setempat mengandung maksud untuk untuk membersihkan keseluruhan Benteng Keraton Siontapina termasuk situs-situs bersejarah yang ada di benteng tersebut.

"Salah satu situs bersejarah yang ada di lokasi benteng keraton di puncak Gunung Siontapina  yaitu Batu Banawa dan Makan Sultan La Ode Himayatuddin Muhamad Saidi atau bisa disebut Oputa Sangia Yikoo," tambahnya.

Pada hari kedua, dilanjutkan dengan acara Sangka. Pelaksanaan acara sangka ini dimulai degan ritual "Tutura" atau dalam bahasa setempat yaitu persembahan makanan kepada anak yatim.

"Makanan yang diberikan kepada anak yatim ini merupakan hasil panen selama setahun bagi masyarakat adat setempat," jelas La Denggela.
Kemudian diteruskan dengan tarian Moose yang dibawakan oleh empat anak perempuan yang baru beranjak dewasa. Ke empat penari ini didampingi oleh orang tua.

Setelah tarian moose, dilanjutkan dengan ritual "Pemunsai" yang dianalogikan pejuang benteng keraton siontapina melawan tentara sangila. Tentara sangila ini ingin menguasai benteng Keraton Siontapina.

Sebagai acara penutup pada hari kedua, ritual adat yang dilakukan yaitu melempar ayam ke atas batu Banawa (Batu yang pertama muncul di Pulau Buton). Masyarakat setempat mempercayai, bila ayam tidak berkokok maka akan terjadi peristiwa besar di Negeri ini.

Ketua Adat Siontapina La Denggela mengatakan, pada hari ketiga pelaksanaan ritual tahunan masyarakat Adat Siontapina merupakan acara puncak yang disebut denganaAcara pemutaran payung.

"Di sinilah rangkaian kegiatan yang paling sakral, di mana para leluhur akan merasuki masing-masing tumpangannya yang diambil dari keturunan mereka," katanya.

Ia menambahkan, pada acara puncak itu, masyarakat diberikan nasihat oleh Kapitalao. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, Kapitalao ini merupakan juru bicara kesultanan.

"Kapitalao memberikan pencerahan kepada masyarakat adat Siontapina untuk melakukan ajaran sesuai dengan petunjuk Allah SWT," tambahnya.
Seluruh roh yang merasuki tubuh masyarakat adat yaitu Sultan Oputa Yikoo berserta istri Waode Kulinsusu, serta pengawal dan para pejuangnya yaitu La Badaoge, Saidi Raba, Rahman, Jafar, Abdul, Batu Sangu, Burhan, serta Wa Ode Wakato.

Usai seluruh rangkaian acara ritual tahunan masyarakat adat Siontapina ini, keesokan harinya, masyarakat mulai meninggalkan puncak Gunung Siontapina. Kembali ke Desa mereka masing-masing.


by andhy

Category:

0 komentar:

Posting Komentar